Selasa, 26 Desember 2017

UNDANG-UNDANG PERBURUHAN

Undang-Undang Tentang Perburuhan

UU Perburuhan (Bidang Hubungan Kerja)

Hukum Perburuhan adalah seperangkat aturan dan norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur pola hubungan Industrial antara Pengusaha, disatu sisi, dan Pekerja atau buruh disisi yang lain.

Sejarah Hukum Perburuhan
Pasca reformasi, hukum perburuhan memang mengalami perubahan luar biasa radikal. baik secara regulatif, politik, ideologis bahkan ekonomi Global. Proses industrialisasi sebagai bagian dari gerak historis ekonomi politik suatu bangsa dalam perkembanganya mulai menuai momentumnya. hukum perburuhan, setidaknya menjadi peredam konflik kepentingan antara pekerja dan pengusaha sekaligus.
Sebagai Peredam Konflik, tentu ia tidak bisa diharapkan maksimal. faktanya, berbagai hak normatif perburuhan yang mustinya tidak perlu lagi jadi perdebatan, namun kenyataanya Undang-undang memberi peluang besar untuk memperselisihkan hak-hak normatif tersebut. memang Undang-undang perburuhan juga mengatur aturan pidananya namun hal tersebut masih dirasa sulit oleh penegak hukumnya. disamping seabrek kelemahan lain yang kedepan musti segera dicarikan jalan keluarnya.
Masa Orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto benar-benar membatasi Gerakan Serikat Buruh dan Serikat Pekerja. saat itu Organisasi Buruh dibatasi hanya satu organisasi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).
pola penyelesaian hubungan Industrial pun dianggap tidak adil dan cenderung represif. TNI saat itu, misalnya, terlibat langsung bahkan diberikan wewenang untuk turut serta menjadi bagian dari Pola Penyelesaian hubungan Industrial. Saat itu, sejarah mencatat kasus-kasus buruh yang terkenal di Jawa Timur misalnya Marsinah dan lain-lain.
Hukum Perburuhan era Reformasi

Era Reformasi benar-benar membuka lebar arus demokrasi. Secara regulatif, dan Gradual hukum perburuhan kemudian menemukan momentumnya. hal tersebut terepresentasi dalam tiga paket Undang-Undang perburuhan antara lain: Undang-undang No. 21 tahun 2000 Tentang Serikat Buruh, Undang-undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

UNDANG UNDANG PERBURUHAN  NO.12 TH 1948 (TENTANG KRITERIA STATUS DAN PERLINDUNGAN BURUH)

Undang-undang ini menjelaskan tentang aturan-aturan terhadap pekerja buruh dalam hal persyaratan untuk menjadi seorang buruh, pengaturan jam kerja dan jam istirahat, pemberian upah, perlindungan terhadap buruh perempuan, tempat kerja dan perumahan buruh, tanggung jawab, pengusutan pelanggaran, dan aturan tambahan.
Undang-undang ini berfungsi untuk melindungi buruh dari hal-hal yang tidak diharapkan.
Adanya bunyi dari Undang-Undang Perburuhan No.12 Th 1948 :
Pasal 10.
(1) Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Jikalau pekerjaan dijalankan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.
(2) Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan waktu istirahat yang sedikitsedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam bekerja termaksud dalam ayat 1.
Pasal 13. ayat 2
(2) Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung.
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1964 (TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERA DIPERUSAHAAN SWASTA)

Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta
Menimbang:
bahwa untuk lebih menjamin ketenteraman serta kepastian bekerja bagi kaum buruh yang disamping tani harus menjamin kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadi soko guru masyarakat adil makmur, seperti tersebut dalam Manifesto Politik, beserta perinciannya, perlu segera dikeluarkan Undang-Undang tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
Pasal 1
(1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dilarang:
  1. Selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus menerus.
  2. Selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena mematuhi kewajiban terhadap
Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.
Pasal 2
Bila setelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah satu organisasi buruh.
Pasal 3
(1) Bila perundingan tersebut dalam pasal 2 nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah ( Panitia Daerah), termaksud pada pasal 5 Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja perorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Panitia Pusat) termaksud pada pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan, pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, atau mengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
Pasal 4
Izin termaksud pada pasal 3 tidak diperlukan bila pemutusan hubungan kerja dilakukan terhadap buruh dalam masa percobaan.
Lamanya masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harus diberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan.
Pasal 5
(1) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja beserta alasan-alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara tertulis kepada Panitia Daerah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perorangan dan kepada Pusat bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) permohonan izin hanya diterima oleh Panitia Daerah/Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam pasal 2 tetapi perundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham.
Pasal 6
Panitia Daerah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan.
Pasal 7
(1) Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia Daerah dan Panitia Pusat disamping ketentuan-ketentuan tentang hasil ini yang dimuat dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42), memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja serta kepentingan buruh dan perusahaan.
(2) Dalam hal Panitia Daerah atau Panitia Pusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa, dan ganti kerugian lain-lainnya.
(3) Penetapan besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lainnya diatur dalam Peraturan Menteri Perburuhan.
(4) Dalam Peraturan Menteri Perburuhan itu diatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan pemberian uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian tersebut di atas.
Pasal 8
Terhadap penolakan pemberian izin oleh Panitia Pusat atau pemberian izin dengan syarat tersebut pada pasal 7
ayat (2), dalam waktu 14 (empat betas) hari setelah pemutusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi buruh/ atau organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat diminta banding kepada Panitia Pusat.
Pasal 9
Panitia Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan dalam tingkat banding.
Pasal 10
Pemutusan hubungan kerja tanpa izin seperti tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum.
Pasal 11
Selama izin termaksud pada pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan banding tersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya.
Pasal 12
Undang-undang ini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di perusahaan-perusahaan swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka, asal mempunyai masa kerja dari 3 (tiga) bulan berturut-turut.
Pasal 13
Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur dalam Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.
Pasal 14
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkannya.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

UNDANG-UNDANG NO 21 TAHUN 2000 (TENTANG PEKERJA/ SERIKAT BURUH)

Menimbang :
  1. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran baik secara lisan maupun secara tulisan, memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum merupakan hak setiap warga negara;
  2. bahwa dalam rangka mewujudkan kemerdekaan berserikat pekerja,/buruh berhak membentuk dan mengembangkan serikat pekerja/serikat buruh yang bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab;

Mengingat :
  1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (2), pasal 27, dan pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999;
  2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar daripadanya Hak Untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1050) ;
  3. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);

Pasal 1
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja dan buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Pasal 2
  1. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh menerima Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-undang Dasarf 1945 sebagai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai asas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 3
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
Pasal 4
  1. Serikat Pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya.
  2. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi :
a.     sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial;
b.     sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaha kerja sama dibidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;
c.     sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraaturan perundang-undangan yang berlaku;
d.     sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
e.     sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f.       sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham dalam perusahaan.

Pasal 5
  1. Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
  2. Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh.
Pasal 6
  1. Serikat pekerja/serikat buruh berhak membentuk dan menjadi anggota federasi serikat pekerja/serikat buruh.
  2. Federasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 5 (lima) serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 7
  1. Federasi serikat pekerja/serikat buruh berhak membentuk dan menjadi anggota konfederasi serikat pekerja/serikat buruh.
  2. Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) federasi serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 8
Penjenjangan organisasi serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh diatur dalam anggaran dasar dan /atau anggaran rumah tangganya.
Pasal 9
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, partai politik, dan pihak manapun.
Pasal 10
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat dibentuk berdasarkan sektor usaha, jenis pekerjaan, atau bentuk lain sesuai dengan kehendak pekerja/buruh.
Pasal 11
  1. Setiap serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
  2. Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya harus memuat :
a.     nama dan lambang;
b.     dasar negara, asas, dan tujuan;
c.     tanggal pendirian;
d.     tempat kedudukan;
e.     keanggotaan dan kepengurusan;
f.       sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan
g.     ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.

Pasal 12
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus terbuka untuk menerima anggota tanpa membedakan aliran politik, agama, suku bangsa, dan jenis kelamin.
Pasal 13
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya.
Pasal 14
  1. Seorang pekerja /buruh tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh disatu perusahaan.
  2. Dalam hal seorang pekerja/buruh dalam satu perusahaan ternyata tercatat pada lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, yang bersangkutan harus menyatakan secara tertulis satu serikat pekerja/serikat buruh yang dipilihnya.

Pasal 15
Pekerja/buruh yang menduduki jabatan tertentu di dalam satu perusahaan dan jabatan itu menimbulkan pertentangan kepentingan antara pihak pengusaha dan pekerja/buruh, tidak boleh menjadi pengurus serikat pekerja/serikat buruh diperusahaan yang bersangkutan.
Pasal 16
  1. Setiap serikat pekerja/serikat buruh hanya dapat menjadi anggota dari satu federasi serikat pekerja/serikat buruh.







UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2003 (TENTANG KETENAGAKERJAAN)

Menimbang:
  1. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting seba­gai pelaku dan tujuan pembangunan;

Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 1
Dalam undang -undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
  2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
  3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Pasal 4

Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:
  1. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
  2. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
  3. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
  4. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

Pasal 5

Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
Pasal 6

Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. 
Pasal 7

(1)            Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2)            Perencanaan tenaga kerja meliputi:
  1. perencanaan tenaga kerja makro; dan
  2. perencanaan tenaga kerja mikro.
(3)            Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8

(1)            Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain meliputi:
  1. penduduk dan tenaga kerja;
  2. kesempatan kerja;
  3. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
  4. produktivitas tenaga kerja;
  5. hubungan industrial;
  6. kondisi lingkungan kerja;
  7. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
  8. jaminan sosial tenaga kerja.
(2)            Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh dari semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
(3)            Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 9

Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan.
Pasal 10

(1)            Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2)            Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja.
(3)            Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4)            Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11

Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja.
Kesimpulan
Bahwa hukum perburuhan setalah Pasca reformasi, memang mengalami perubahan luar biasa radikal. baik secara regulatif, politik, ideologis bahkan ekonomi Global. Dan hukum perburuhan, setidaknya menjadi peredam konflik kepentingan antara pekerja dan pengusaha sekaligus. Masa Orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto  juga benar-benar membatasi Gerakan Serikat Buruh dan Serikat Pekerja. Hanya ada satu organisasi yaitu SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).


Sumber:
http://brigitacitra.blogspot.com/2011/11/hukum-perburuhan.
http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/lt4c3d3fcb74af1/parent/724


Selasa, 21 November 2017

HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN



BAB 1

MENGENAL SERTIFIKAT HAK MILIK atas SATUAN RUMAH SUSUN (SHMSRS).
Jakarta - Pasca pembangunan serentak yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun lalu, istilah Rumah Susun (Rusun) semakin akrab di telinga rakyat Indonesia. Kini Rusun lebih dikenal dengan dua istilah, Rusunami (Rumah Susun Sederhana Milik) dan Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa).
Namun tidak banyak yang mengetahui bagaimana masalah kepemilikan dan Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS).
SHMSRS mencakup beberapa jenis bangunan seperti perkantoran strata title, kios komersial non pemerintah atau bangunan residensial seperti apartemen, kondominium, flat, dan rumah susun.
Setiap bagian dari rumah susun disebut dengan unit rusun. Nantinya jika rusun sudah selesai dan mendapat izin layak huni maka pihak developer wajib memisahkan sertifikat rusun atas unit-unit rusun melalui Akta Pemisahan Rumah Susun yang dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Sertifikat yang diperuntukkan bagi unit rusun diterbitkan oleh kantor pertanahan sesuai dengan wilayah rusun tersebut berada.
Penampakan fisik SHMSRS sebenarnya sama dengan sertifikat atas tanah dan bangunan. Namun SHMSRS berwarna merah muda dan sertifikat tanah berwarna hijau. Sertifikat tanah juga memiliki persentase kepemilikan atas tanah bersama, sedangkan SHMSRS tidak.
Saat ingin mengalihkan kepemilikan, proses secara umum akan sama dengan peralihan hak atas sertifikat tanah dan bangunan. Namun pemilik harus menyertakan otentik yang dibuat di hadapan PPAT.
Jika pemilik SHMSRS ingin menjadikannya sebagai jaminan atas pinjaman terhadap bank, maka hal ini dapat berlaku. Proses penjaminannya pun akan sama dengan saat melakukan penjaminan atas sertifikat tanah pada umumnya.
Developer rumah susun wajib melakukan pembentukan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) maksimal satu tahun sejak diserahkannya unit kepada pemilik. PPPSRS akan berfungsi untuk mengatur pengelolaan dan kepemilikan bersama atas benda dan tanah bersama (misal: tangga, jalan, lobi, lahan parkir, mushola, taman, dll).
Nantinya PPPSRS bertindak sebagai badan hukum yang dapat melakukan tindakan/upaya hukum seperti memperpanjang Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah saat masa berlakunya telah selesai.

BAB 11

KEPEMILIKAN RUSUN: BPN Bilang Rancangan Peraturan Pemerintah Langgar Undang-Undang

JAKARTA: Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pemilikan Rumah Susun oleh Orang/Badan Hukum Asing yang sedang disusun pemerintah dianggap melanggar undang-undang.Maharani, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional, mengatakan menurut hierarki pembuatan PP harus ada perintah UU, tetapi dalam UU No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU No.20/2011 tentang Rumah Susun tidak mengamanahkan pembuatan PP tersebut."Apakah tim penyusun tidak paham dengan tatanan/sistem hukum tanah di Indonesia? RPP Rusun untuk asing disebutkan merevisi PP No.41/1996, tetapi tidak disebutkan dalam konsideran," ujarnya  dalam seminar bertema Liberalisasi Properti di Indonesia, Manfaat dan Kerugiannya:
Belajar dari Pengalaman Industri Migas, Kamis (13/11).Menurutnya, negara wajib memenuhi dahulu kebutuhan rumah bagi warga negara Indonesia sehingga pemilikan rumah bagi WNA harus sangat dibatasi. Masih banyak masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang tidak memiliki rumah tinggal dan dengan ketersediaan lahan untuk rumah yang terbatas harga lahan semakin melambung sehingga tidak terjangkau oleh MBR.Maharani mengkritisi beberapa konsideran RPP tersebut diantara terkait WNI dan orang asing yang bertempat tinggal di wilayah Indonesia, mempunyai hak yang sama untuk memiliki rumah/atau menghuni rumah.
Padahal dalam UU Pokok Agraria (UU PA) hal milik tidak dapat dipunyai oleh warga asing dan pemimdahan hak milik kepada asing juga dilarang.Kedua, kepemilikan rusun oleh asing selain berfungsi sebagai tempat tinggal juga sebagai alat investasi. Fungsi sebagai alat investasi bertentangan dengan UUD dan UUPA."Ada banyak hal pokok-pokok pikiran dalam aturan itu yang kacau.
Draf aturan itu juga tidak ada paper yang melatarbelakangi sehingga sangat sumir maknanya. Terkesan tim penyusun bekerja serampangan," ungkapnya.Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (Aperssi) Ibnu Tadji mengatakan kepemilikan properti oleh pihak asing otomatis akan membuat harga properti melejit naik, harga akan ditentukan bukan oleh pasar domestik, tetapi regional.Dia menjelaskan di tengah kekurangan (backlog) rumah mencapai 15 juta unit dan tidak tercapainya target rumah susun sederhana sewa dan rumah susun sederhana milik (rusunami), wacana Kemenpera untuk memperbolehkan asing membeli dan memiliki properti menimbulkan pertanyaan tentang arah kebijakan yang akan diambil.
"Berdasarkan pengalaman liberalisasi di industri migas yang cukup memprihatinkan, kebijakan pemilikan properti asing harus dikaji secara komprehensif. Liberalisasi di properti akan memberikan dampak yang signifikan terhadap penyediaan lahan dan properti di Indonesia," tegasnya.Ibnu berharap Kementerian Perumahan Rakyat kembali pada tanggungjawab utamanya untuk menelurkan kebijakan untuk mengurangi backlog dan menjadi ujung tombak untuk menghidupkan kembali pembangunan rusunawa dan rusunami.Fary Djemy Francis, anggota Komisi V, mengatakan aturan kepemilikan properti untuk asing memang sudah menjadi polemik panjang sejak pembahasan UU PKP dan UU Rusun yang berujung pada dikeluarkannya aturan itu."Kepemilikan properti bagi asing menjadi perdebatan dalam pembahasan UU PKP dan UU Rusun, banyak pro dan kontra. Yang sudah diatur hak pakai. Pemerintah yakni DPR harus mengawal pembentukan RPP,"



REFERENSI