Undang-Undang Tentang Perburuhan
UU Perburuhan (Bidang Hubungan Kerja)
Hukum Perburuhan adalah seperangkat aturan dan norma baik
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur pola hubungan Industrial antara
Pengusaha, disatu sisi, dan Pekerja atau buruh disisi yang lain.
Sejarah Hukum Perburuhan
Pasca
reformasi, hukum perburuhan memang mengalami perubahan luar biasa radikal. baik
secara regulatif, politik, ideologis bahkan ekonomi Global. Proses
industrialisasi sebagai bagian dari gerak historis ekonomi politik suatu bangsa
dalam perkembanganya mulai menuai momentumnya. hukum perburuhan, setidaknya
menjadi peredam konflik kepentingan antara pekerja dan pengusaha sekaligus.
Sebagai
Peredam Konflik, tentu ia tidak bisa diharapkan maksimal. faktanya, berbagai
hak normatif perburuhan yang mustinya tidak perlu lagi jadi perdebatan, namun
kenyataanya Undang-undang memberi peluang besar untuk memperselisihkan hak-hak
normatif tersebut. memang Undang-undang perburuhan juga mengatur aturan
pidananya namun hal tersebut masih dirasa sulit oleh penegak hukumnya.
disamping seabrek kelemahan lain yang kedepan musti segera dicarikan jalan
keluarnya.
Masa Orde
baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto benar-benar membatasi Gerakan Serikat
Buruh dan Serikat Pekerja. saat itu Organisasi Buruh dibatasi hanya satu
organisasi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).
pola
penyelesaian hubungan Industrial pun dianggap tidak adil dan cenderung
represif. TNI saat itu, misalnya, terlibat langsung bahkan diberikan wewenang
untuk turut serta menjadi bagian dari Pola Penyelesaian hubungan Industrial.
Saat itu, sejarah mencatat kasus-kasus buruh yang terkenal di Jawa Timur
misalnya Marsinah dan lain-lain.
Hukum Perburuhan era Reformasi
Era Reformasi benar-benar membuka lebar arus
demokrasi. Secara regulatif, dan Gradual hukum perburuhan kemudian menemukan
momentumnya. hal tersebut terepresentasi dalam tiga paket Undang-Undang
perburuhan antara lain: Undang-undang No. 21 tahun 2000 Tentang Serikat Buruh,
Undang-undang No.13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, dan Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
UNDANG UNDANG PERBURUHAN NO.12 TH
1948 (TENTANG KRITERIA STATUS DAN PERLINDUNGAN BURUH)
Undang-undang
ini menjelaskan tentang aturan-aturan terhadap pekerja buruh dalam hal
persyaratan untuk menjadi seorang buruh, pengaturan jam kerja dan jam
istirahat, pemberian upah, perlindungan terhadap buruh perempuan, tempat kerja
dan perumahan buruh, tanggung jawab, pengusutan pelanggaran, dan aturan
tambahan.
Undang-undang
ini berfungsi untuk melindungi buruh dari hal-hal yang tidak diharapkan.
Adanya bunyi dari Undang-Undang Perburuhan No.12 Th 1948 :
Pasal 10.
(1) Buruh
tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu.
Jikalau pekerjaan dijalankan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan atau
keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam
seminggu.
(2)
Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan
waktu istirahat yang sedikitsedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat
itu tidak termasuk jam bekerja termaksud dalam ayat 1.
Pasal 13.
ayat 2
(2) Buruh
Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia
menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah
melahirkan anak atau gugur-kandung.
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1964
(TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERA DIPERUSAHAAN SWASTA)
Tentang
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta
Menimbang:
bahwa
untuk lebih menjamin ketenteraman serta kepastian bekerja bagi kaum buruh yang
disamping tani harus menjamin kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadi
soko guru masyarakat adil makmur, seperti tersebut dalam Manifesto Politik,
beserta perinciannya, perlu segera dikeluarkan Undang-Undang tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
Pasal 1
(1)
Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja.
(2)
Pemutusan hubungan kerja dilarang:
- Selama
buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut
keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus
menerus.
- Selama
buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena mematuhi kewajiban
terhadap
Negara
yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan
ibadah yang diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.
Pasal 2
Bila
setelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan,
pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan
organisasi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh
itu tidak menjadi anggota dari salah satu organisasi buruh.
Pasal 3
(1) Bila
perundingan tersebut dalam pasal 2 nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian
paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah
memperoleh izin Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah ( Panitia
Daerah), termaksud pada pasal 5 Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42) bagi
pemutusan hubungan kerja perorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (Panitia Pusat) termaksud pada pasal 12 Undang-undang tersebut
di atas bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2)
Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu
perusahaan dalam satu bulan, pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10
orang buruh atau lebih, atau mengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan
kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan
kerja secara besar-besaran.
Pasal 4
Izin
termaksud pada pasal 3 tidak diperlukan bila pemutusan hubungan kerja dilakukan
terhadap buruh dalam masa percobaan.
Lamanya
masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harus
diberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan.
Pasal 5
(1)
Permohonan izin pemutusan hubungan kerja beserta alasan-alasan yang menjadi
dasarnya harus diajukan secara tertulis kepada Panitia Daerah, yang wilayah
kekuasaannya meliputi tempat kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja
perorangan dan kepada Pusat bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2)
permohonan izin hanya diterima oleh Panitia Daerah/Panitia Pusat bila ternyata
bahwa maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan seperti
termaksud dalam pasal 2 tetapi perundingan ini tidak menghasilkan persesuaian
paham.
Pasal 6
Panitia
Daerah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja
dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata cara yang berlaku untuk
penyelesaian perselisihan perburuhan.
Pasal 7
(1) Dalam
mengambil keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia
Daerah dan Panitia Pusat disamping ketentuan-ketentuan tentang hasil ini yang
dimuat dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42), memperhatikan keadaan dan
perkembangan lapangan kerja serta kepentingan buruh dan perusahaan.
(2) Dalam
hal Panitia Daerah atau Panitia Pusat memberikan izin maka dapat ditetapkan
pula kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada buruh yang bersangkutan uang
pesangon, uang jasa, dan ganti kerugian lain-lainnya.
(3)
Penetapan besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lainnya diatur
dalam Peraturan Menteri Perburuhan.
(4) Dalam
Peraturan Menteri Perburuhan itu diatur pula pengertian tentang upah untuk
keperluan pemberian uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian tersebut di
atas.
Pasal 8
Terhadap
penolakan pemberian izin oleh Panitia Pusat atau pemberian izin dengan syarat
tersebut pada pasal 7
ayat (2),
dalam waktu 14 (empat betas) hari setelah pemutusan diterima oleh pihak-pihak
yang bersangkutan, baik buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi buruh/ atau
organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat diminta banding kepada Panitia
Pusat.
Pasal 9
Panitia
Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata cara yang berlaku untuk
penyelesaian perselisihan perburuhan dalam tingkat banding.
Pasal 10
Pemutusan
hubungan kerja tanpa izin seperti tersebut pada pasal 3 adalah batal karena
hukum.
Pasal 11
Selama
izin termaksud pada pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan
banding tersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik
pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya.
Pasal 12
Undang-undang
ini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di perusahaan-perusahaan
swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka,
asal mempunyai masa kerja dari 3 (tiga) bulan berturut-turut.
Pasal 13
Ketentuan-ketentuan
pelaksanaan yang belum diatur dalam Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri
Perburuhan.
Pasal 14
Undang-undang
ini mulai berlaku pada hari diundangkannya.
Agar
supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
UNDANG-UNDANG NO 21 TAHUN 2000 (TENTANG
PEKERJA/ SERIKAT BURUH)
Menimbang
:
- bahwa
kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran baik secara lisan
maupun secara tulisan, memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan, serta mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum
merupakan hak setiap warga negara;
- bahwa
dalam rangka mewujudkan kemerdekaan berserikat pekerja,/buruh berhak
membentuk dan mengembangkan serikat pekerja/serikat buruh yang bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab;
Mengingat
:
- Pasal
5 ayat (1), pasal 20 ayat (2), pasal 27, dan pasal 28 Undang-undang Dasar
1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999;
- Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan
Internasional Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar daripadanya Hak
Untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama (Lembaran Negara Tahun
1956 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1050) ;
- Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
Pasal 1
Serikat
pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh
baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja dan buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Pasal 2
- Serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh menerima Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-undang Dasarf
1945 sebagai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Serikat
pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh mempunyai asas yang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 3
Serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
mempunyai sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
Pasal 4
- Serikat
Pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan,
serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan
keluarganya.
- Untuk
mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh mempunyai fungsi :
a.
sebagai
pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan
industrial;
b.
sebagai
wakil pekerja/buruh dalam lembaha kerja sama dibidang ketenagakerjaan sesuai
dengan tingkatannya;
c.
sebagai
sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan
sesuai dengan peraaturan perundang-undangan yang berlaku;
d.
sebagai
sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
e.
sebagai
perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f.
sebagai
wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham dalam perusahaan.
Pasal 5
- Setiap
pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
- Serikat
pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang
pekerja/buruh.
Pasal 6
- Serikat
pekerja/serikat buruh berhak membentuk dan menjadi anggota federasi
serikat pekerja/serikat buruh.
- Federasi
serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 5 (lima)
serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 7
- Federasi
serikat pekerja/serikat buruh berhak membentuk dan menjadi anggota
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh.
- Konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga)
federasi serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 8
Penjenjangan
organisasi serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh diatur dalam anggaran dasar dan /atau anggaran rumah
tangganya.
Pasal 9
Serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan
pengusaha, pemerintah, partai politik, dan pihak manapun.
Pasal 10
Serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
dapat dibentuk berdasarkan sektor usaha, jenis pekerjaan, atau bentuk lain
sesuai dengan kehendak pekerja/buruh.
Pasal 11
- Setiap
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh harus memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga.
- Anggaran
dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya harus memuat
:
a.
nama dan
lambang;
b.
dasar
negara, asas, dan tujuan;
c.
tanggal
pendirian;
d.
tempat
kedudukan;
e.
keanggotaan
dan kepengurusan;
f.
sumber
dan pertanggungjawaban keuangan; dan
g.
ketentuan
perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
Pasal 12
Serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
harus terbuka untuk menerima anggota tanpa membedakan aliran politik, agama,
suku bangsa, dan jenis kelamin.
Pasal 13
Keanggotaan
serikat pekerja/serikat buruh federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya.
Pasal 14
- Seorang
pekerja /buruh tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu serikat
pekerja/serikat buruh disatu perusahaan.
- Dalam
hal seorang pekerja/buruh dalam satu perusahaan ternyata tercatat pada
lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, yang bersangkutan harus
menyatakan secara tertulis satu serikat pekerja/serikat buruh yang
dipilihnya.
Pasal 15
Pekerja/buruh
yang menduduki jabatan tertentu di dalam satu perusahaan dan jabatan itu
menimbulkan pertentangan kepentingan antara pihak pengusaha dan pekerja/buruh,
tidak boleh menjadi pengurus serikat pekerja/serikat buruh diperusahaan yang
bersangkutan.
Pasal 16
- Setiap
serikat pekerja/serikat buruh hanya dapat menjadi anggota dari satu
federasi serikat pekerja/serikat buruh.
UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2003 (TENTANG
KETENAGAKERJAAN)
Menimbang:
- bahwa
pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik
materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- bahwa
dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan
kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan;
Mengingat:
Pasal 5
ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 1
Dalam
undang -undang ini yang dimaksud dengan:
- Ketenagakerjaan
adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum,
selama, dan sesudah masa kerja.
- Tenaga
kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.
- Pekerja/buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
Pasal 2
Pembangunan
ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pembangunan
ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi
fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Pasal 4
Pembangunan
ketenagakerjaan bertujuan:
- memberdayakan
dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
- mewujudkan
pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
- memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
- meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Pasal 5
Setiap
tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh
pekerjaan.
Pasal 6
Setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari
pengusaha.
Pasal 7
(1) Dalam
rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan
menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan
tenaga kerja meliputi:
- perencanaan
tenaga kerja makro; dan
- perencanaan
tenaga kerja mikro.
(3) Dalam
penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada
perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8
(1) Perencanaan
tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain
meliputi:
- penduduk
dan tenaga kerja;
- kesempatan
kerja;
- pelatihan
kerja termasuk kompetensi kerja;
- produktivitas
tenaga kerja;
- hubungan
industrial;
- kondisi
lingkungan kerja;
- pengupahan
dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
- jaminan
sosial tenaga kerja.
(2) Informasi
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh dari semua pihak
yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
(3) Ketentuan
mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta
pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
Pelatihan
kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan
mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan
kesejahteraan.
Pasal 10
(1) Pelatihan
kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha,
baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan
kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar
kompetensi kerja.
(3) Pelatihan
kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4) Ketentuan
mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11
Setiap
tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau
mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui
pelatihan kerja.
Kesimpulan
Bahwa hukum
perburuhan setalah Pasca reformasi, memang mengalami perubahan luar biasa
radikal. baik secara regulatif, politik, ideologis bahkan ekonomi Global. Dan hukum
perburuhan, setidaknya menjadi peredam konflik kepentingan antara pekerja dan
pengusaha sekaligus. Masa Orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto juga benar-benar membatasi Gerakan Serikat
Buruh dan Serikat Pekerja. Hanya ada satu organisasi yaitu SPSI (Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia).
Sumber:
http://brigitacitra.blogspot.com/2011/11/hukum-perburuhan.
http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/lt4c3d3fcb74af1/parent/724
Tidak ada komentar:
Posting Komentar