Kamis, 23 Juni 2016

PRINSIP HIDUP NEGARA INDONESIA DAN SINGAPURA

PRINSIP HIDUP NEGARA INDONESIA DAN SINGAPURA
Prinsip Hidup Negara Indonesia

Perbedaan budaya dan etnis penduduk Indonesia sangat besar. Hal ini terjadi antara lain karena banyaknya suku bangsa yang mendiami kepulauan di Indonesia. Kelompok-kelompok penduduk yang saling berbeda ini memiliki keistimewaan masing-masing yang sekaligus menjadi ciri-ciri khas regional daerah tersebut.
Masing-masing suku juga  memiliki kebanggaan, kelemahan,  juga nilai-nilai  dan norma-norma. Semua ini dapat terlihat dalam kebiasaan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-harinya. Tentunya di antara perbedaan itu juga ada kesamaan, karena pada dasarnya mereka berasal dari satu bangsa. Bangsa Indonesia.


 1. Terima nasib

Prinsip Hidup Negara Indonesia
Satu dasar pemikiran yang mempercayai bahwa bersamaan dengan kelahiran,  factor nasib seseorang sudah ditentukan. Biasanya factor nasib dalam kehidupan  akan muncul di permukaan bila sesuatu yang tidak  menyenangkan terjadi pada seseorang. Dalam hal ini sikap yang akan diambil oleh yang bersangkutan adalah:” Ya, sudahlah. Terima saja nasibmu. Itu sudah takdir dalam kehidupanmu”.
2. Hierarki
Seseorang yang dapat menerima adanya factor nasib akan mudah menerima adanya faktor hierarki dalam kehidupannya. Suatu ketidak samaan adalah hal yang biasa. Suatu pekerjaan yang fungsinya “mengerjakan”sesuatu untuk orang lain dalam hal ini bukanlah dianggap sebagai hal yang merendahkan diri. Jadi pekerjaan semacam supir, koki, baby sitter,  bukanlah pekerjaan yang hina.
Pekerjaan yang harus disyukuri karena mungkin memang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Sudah menjadi nasibnya. Untuk dapat menimbulkan rasa bersyukur atas apa yang dimilikinya, biasanya sejak kecil telah diajari  untuk tidak selalu melihat “ke atas”, tetapi sering-sering melihat “ke bawah”.
3. Rasa Hormat dan menghormati
Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah Negara yang penduduknya sangat menghargai  norma-norma dan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-harinya. Di Indonesia kehormatan adalah salah satu  hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-harinya. Bila kehormatan seseorang dilanggar maka dia akan menjadi malu. Dan karena rasa malu ini bisa menyebabkan dia menjadi mata gelap.
Salah satu contoh yang jelas adalah, betapa tersinggung dan malunya seorang warga Bugis yang dalam tidurnya kentut kecil tetapi entah karena bunyinya yang terdengar aneh atau karena hal yang lain, yang hadir dan mendengarnya semuanya tertawa… Akibatnya dia mengambil parangnya dan dengan membabi buta menusuk  dan melukai beberapa yang hadir.
4. Halus
Satu kebiasaan sikap yang pada awalnya termasuk dalam tata tertib kehidupan “istana” dan kalangan atas. Kebiasaan ini dilakukan terutama untuk menghormati “rajanya”. Suatu sikap yang halus sebetulnya juga berhubungan erat dengan olah batiniah dan latar belakang social ekonomi serta pendidikan seseorang.
Dengan melalui olah batin ini,  akan mudah dicapai suatu sikap hidup yang lembut misalnya:  Lembut berbicara, tidak terlalu mengumbar kata, menghindari rasa cepat marah, sopan santun pada sesamanya dan tidak kasar dalam berkata dan bertindak. Belajar mengendalikan diri dan hidup dengan dasar “relativering” sangat mendukung prinsip dan sikap  hidup yang halus.
Keadaan lingkungan sosial ekonomi seseorang sangat mempengaruhi kebiasaan kehidupannya. Juga pendidikan memberikan sumbangan dalam cara berpikir dan berperilaku pada seseorang.
Seseorang yang tidak terlalu banyak bicara di Indonesia, bukanlah hal yang aneh. Justru dengan sikapnya itu kita bisa melihat sifat bijaksana yang dimilikinya. Misalnya, seseorang tidak perlu menggunakan kata-kata kasar, atau mencaci buta dan membentak-bentak orang lain untuk menyatakan ketidak setujuannya.
Gunakan cara yang halus dan sesubtiel mungkin’,  karena dengan cara ini, saya yakin akan lebih bisa mencapai sasarannya.  Daaaannn, tidak akan terjadi perang… Tentu semua ada kekecualiannya..
5. Anti-individualisme
Sebetulnya setiap orang Indonesia merasa dirinya menjadi anggota dari suatu kelompok tertentu. Sangat mustahil kalau seseorang tidak membutuhkan kehadiran orang lain. Apapun alasannya. Bisa kita bayangkan, bagaimana  bisa berdiskusi kalau seseorang mengatakan saya tidak perlu kehadiran orang lain. Nanti khan dia akan meracu sendiri. Dan bisa-bisa jadi penghuni Rumah Edan di Heillo.
Kelompok yang terpenting dalam hal ini adalah: Keluarga. Siapa yang kehilangan rasa hormatnya entah karena kesalahan sendiri atau karena kesalahan orang lain, akan mempermalukan seluruh anggota keluarga yang bersangkutan. Misalnya, kasus perceraian. Keluarga menjadi marah besar karena khawatir bahwa perceraian itu akan menghancurkan nama baik keluarga, atau karena perceraian itu akan merusak status keluarga dalam kehidupan kemasyarakatannya…




Singapura (nama resmi: Republik Singapura) adalah sebuah negara pulau di lepas ujung selatan Semenanjung Malaya, 137 kilometer (85 mi) di utara khatulistiwa di Asia Tenggara. Negara ini terpisah dari Malaysia oleh Selat Johor di utara, dan dari Kepulauan Riau, Indonesia oleh Selat Singapura di selatan. Singapura adalah pusat keuangan terdepan keempat di dunia dan sebuah kota dunia kosmopolitan yang memainkan peran penting dalam perdagangan dan keuangan internasional. Pelabuhan Singapura adalah satu dari lima pelabuhan tersibuk di dunia.

1. Pendiri negara yang hebat
Singapura bersyukur memiliki founding fathers hebat seperti Lee Kuan Yew, S. Rajaratnam, dan Goh Keng Swee. Ketiga orang ini luar biasa. Mereka pintar dan mendedikasikan hidup mereka sepenuhnya untuk kebaikan orang-orang Singapura.

2. Menerapkan sistem meritokrasi
Singapura sukses karena sejak awal para pendiri bangsa menerapkan sistem meritokrasi. Mereka menempatkan orang-orang pilihan untuk memimpin bangsa dan memberlakukan meritokrasi sebagai dasar bagi pelayanan publik. Lee Kuan Yew sendiri menegaskan bahwa kepemimpinan politik yang kuat membutuhkan pelayan publik yang netral, efisien dan jujur. Mereka dipilih dan mendapat kenaikan pangkat atas dasar merit, atau kinerja mereka.

Mereka (para PNS) ini harus menjalani prinsip pembangunan bangsa yang sama dan bekerja sesuai tujuan dari para pemimpin politik. Mereka juga mendapat upah yang sesuai, sehingga sanggup melawan godaan untuk korupsi. Lembaga khusus dibentuk untuk mengakses karakter pegawai, dan memberikan beasiswa kepada calon-calon yang terbaik. 

3. Mau belajar dari negara lain
Singapura sukses karena para pemimpinnya tidak malu untuk belajar dari negara lain. Singapura adalah negara yang paling pragmatis di dunia dan berhasil mengadopsi solusi yang ditawarkan oleh negara lain. Bahkan sekarang, program pendidikan Lee Kuan Yew didedikasikan untuk menyebarluaskan praktek-praktek terbaik di Singapura ke negara-negara berkembang. 

4.Politik luar negeri yang pragmatis
Sebagai negara kecil Singapura tidak kaku dalam politik luar negerinya (non-blok). Misalnya, selama Perang Dingin, Singapura menjadi sahabat bagi Amerika Serikat, namun tidak menutup diri bagi Uni Soviet (Rusia), bahkan tetap membolehkan kapal-kapal Rusia bersandar di Singapura. Menteri Luar Negeri Singapura kala itu S. Rajaratnam dalam pidatonya di PBB mengatakan bahwa Singapura ingin hidup secara damai dengan negara-negara tetangga, karena Singapura akan rugi jika berperang melawan mereka. 

5. Memulai dengan kesuksesan kecil
Kesuksesan Singapura terletak pada keterfokusan para pemimpinnya untuk berhasil dalam hal-hal kecil namun yang memiliki efek perubahan yang besar. Bahkan pada masa-masa awal, ada pemimpin yang mengatakan bahwa apabila mereka bisa membuat sebuah pipa air hadir di sebuah desa, maka semua warga desa akan mendukung mereka.

Pemimpin Singapura percaya bahwa kemajuan tidak bisa dicapai hanya melalui reformasi besar-besaran. Langkah-langkah kecil yang memiliki dampak besar pada kehidupan orang sehari-hari sangat perlu untuk memastikan bahwa kemajuan terjadi dalam cara yang manfaatnya dirasakan. 

6. Tidak bergantung pada bantuan luar negeri
Singapura tidak bergantung pada bantuan luar negeri (foreign aid) untuk mencapai tujuan pembangunan. Para pemimpin Singapura di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew, melihat bahwa bantuan besar-besaran yang berasal dari luar negeri, tidak akan membantu. Karena sebagian besar (sekitar 80%) dari bantuan tersebut kembali ke negara asal, berupa pengeluaran administrasi, biaya konsultasi, dan kontrak bagi korporasi dari negara donor.

Dengan demikian, secara faktual hanya sedikit bantuan yang sebenarnya. Singapura selalu tidak percaya dengan bantuan luar negeri, tapi sangat percaya pada perdagangan dan investasi. Jadi ketika negara lain membendung investasi, Singapura membuka pintu lebar-lebar untuk investasi. Dan hasilnya sangat luar biasa: Singapura menjadi negara maju.

7. Kebijakan yang merangkul semua etnis
Kelompok suku utama di Singapura adalah Cina, Melayu, India, tapi masih banyak lainnya. Dan untuk merangkul semua suku, pemerintah menetapkan empat bahasa resmi yakni Inggris, Mandarin, Melayu, dan Tamil. Tujuannya agar semua orang merasa bagian dari Singapura.

8. Berpikir jauh ke depan
Para pemimpin Singapura seperti Lee Kuan Yew dan Goh Keng Swee percaya pada visi jangka panjang. Misalnya perjanjian menyangkut penyediaan air dengan Malaysia selama 100 tahun yang dilakukan tahun 1961.

Selama perjanjian itu berjalan Singapura terus membangun tempat penampungan dan penyulingan air serta fasilitas reklamasi air. Hebatnya lagi, tahun 2013 pemerintah mengumumkan bahwa Singapura sudah mandiri air, bahkan jauh sebelum perjanjian itu berakhir. 

9. Menghindari langkah populis
Singapura menentang sistem ‘welfare state’ atau negara kesejahteraan. Dalam sistem semacam ini negara harus ikut campur, memberikan bantuan sana-sini, dan bisa mengambil alih tugas seorang kepala keluarga yang harus bekerja untuk menafkahi keluarganya. Lee Kuan Yew sejak awal mengatakan bahwa sistem kesejahteraan menghilangkan kemandirian orang karena bergantung pada negara.

Namun demikian, Singapura menemukan cara tersendiri untuk membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat yakni dengan menginvestasi pada pendidikan, jaminan kesehatan, tempat tinggal dan transportasi yang terjangkau. Pemerintah juga menetapkan dana wajib melalui Central Provident Fund, di mana setiap pekerja setelah menerima gaji menyimpan sejumlah uang yang kemudian bisa digunakan untuk membeli rumah, biaya kesehatan, dan terutama uang pensiun. 

10. Kejujuran
Para pemimpin Singapura sejak masa-masa awal berdirinya negara ini sudah menekankan sikap jujur, bahkan sangat jujur. Mahbabuni berkisah bahwa tahun 1975, ada seorang menteri diajak oleh temannya seorang pengusaha untuk pergi berlibur bersama. Menteri tersebut menolak ikut dengan alasan tidak punya uang. Lalu pengusaha tersebut menawarkan akan membiayai dia. Lalu dia pun pergi. Akan tetapi ketika dia pulang, dia ditahan.

Bagi Singapura, kejujuran sangat penting karena warganya dan para investor akan percaya bahwa kebijakan yang diambil pemerintah bukan untuk kepentingan para elit politik, tapi memiliki tujuan untuk mensejahterakan rakyat.

Jika pemerintah jujur, rakyat dan investor akan merasa yakin dengan kepemimpinan mereka. Kejujuran juga menciptakan kestabilan politik yang memberikan ketenangan bagi para investor. Kejujuran para pemimpin Singapura telah membawanya pada tangga sukses menjadi negara yang maju.

Sumber :
Kutipan di atas sering kita dengar dalam versi lain, “Right or wrong is My Country”. Pepatah inilah yang terlintas di benak saya ketika tersiar kabar bahwa ada ‘singgungan’ lagi antara Indonesia dengan Malaysia di garis terdepan Selat Malaka. Saya, usia 21 tahun, Warga Negara Indonesia, sangat terenyuh mendengar kabar yang cukup diangkat menjadi berita di media massa nasional. Disebutkan bahwa Kapal Patroli 001 “Hiu” milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)-RI berhasil menangkap dua kapal nelayan berbendera Malaysia. Dua kapal nelayan beserta 10 Anak Buah Kapal (ABK)-nya tersebut kemudian ditahan di Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) Belawan, Sumatra Utara. Tuduhan yang dikenakan pada dua kapal tersebut tidak main-main. Kedua kapal tersebut didapati masuk ke dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar wilayah Selat Malaka. Kedua kapal tersebut juga didapati sedang menangkap ikan di wilayah tersebut. Parahnya lagi, penangkapan (baca: pencurian) ikan tersebut dilakukan dengan trawl (pukat harimau). Jala jenis tersebut merupakan alat tangkap ikan yang secara yuridis dilarang, termasuk oleh hukum negara kita, karena dapat merusak lingkungan. Celah-celah yang sangat rapat pada pukat harimau dapat membuat ikan-ikan yang masih kecil atau masih jauh dari umurnya dapat tertangkap. Hal itu dapat membuat kerusakan ekosistem suatu wilayah perairan, dalam bentuk gangguan pada daur hidup ikan dan ketersediaan jumlah ikan di perairan tersebut. Tindakan memalukan tersebut lantas seolah tampak berubah menjadi sebuah peristiwa heroik, dengan hadirnya empat helikopter Tentara Diraja Malaysia dari Kesatuan Marinir. Saya, 21 tahun, Warga negara Indonesia, kembali terenyuh menonton peristiwa tersebut, baik dari televisi maupun internet. Helikopter-helikopter tersebut tampak melakukan interception (pencegatan) dari udara, mendekati kapal “Hiu” milik KKP dan berusaha memaksa pihak KKP untuk melepaskan dua kapal berbendera Malaysia tersebut. Kita semua harus mengapresiasi tindakan DKP, yang ternyata tetap menangkap kedua kapal nelayan tersebut untuk menuntut pertanggungjawaban hukum atas tindakan mereka dan mampu mengatasi ‘ancaman’ dari Helikopter Marinir Malaysia. Semoga kita menjadi bangsa yang tak cepat lupa dengan sejarah. Peristiwa di atas bukan pertama kalinya terjadi. Kasus-kasus serupa pernah terjadi sebelumnya. Tentu belum lepas dari ingatan kita pada beberapa hari sebelum peringatan HUT RI ke-65 tahun lalu. Pada waktu itu, tiga staf KKP dan kapalnya ditahan oleh Kapal Patroli Polisi Diraja Malaysia dengan tuduhan melanggar batas wilayah mereka. Hal itu terjadi hanya beberapa waktu berselang setelah para staf KKP tersebut menangkap nelayan Malaysia yang kedapatan mencuri ikan di Perairan Bintan, Kepri. Seolah-olah, pihak Polisi Diraja Malaysia melakukan reaksi balik setelah didapati kapal nelayan dari negara mereka ada yang tertangkap. Lepas dari persoalan hukum internasional dalam batas-batas antara Indonesia dan Malaysia yang belum disepakati oleh pemerintah kedua negara, kita tentu tak hanya prihatin seperti yang sering diucapkan elite negeri ini. Kita pasti merasa miris, ketika mendengar perairan kita dimasuki kapal nelayan asing, yang leluasa menangkap ikan serta memakai alat yang ilegal dan merusak lingkungan pula. Namun kita tentu lebih miris melihat tindakan heroik Tentara Diraja Malaysia melakukan pencegatan dan menuntut kapal nelayan berbendera negara mereka untuk dibebaskan. Kita akan lebih miris lagi jika melihat kenyataan bahwa Pemerintah Malaysia sampai mengirim nota protes kepada Pemerintah Indonesia. Bahkan, Menteri Luar Negeri Malaysia sampai mengatakan bahwa Pemerintah Malaysia “tidak habis pikir” dengan tindakan penagkapan tersebut. Lepas dari siapa yang benar dan siapa yang melanggar hukum atau peraturan tertentu, Malaysia untuk kesekian kalinya menohok kita, tentang siapa yang lebih menjadi ‘negara betulan.’ Persoalan benar atau salah, mematuhi atau melanggar, menjadi pertimbangan yang masih di urutan kesekian bagi sebuah negara dan pemerintahnya pada situasi tertentu. Yang nomor satu, tentu saja perlindungan bagi warga negara serta instrumen ataupun aset yang terkait dengannya. Di samping itu, tetap apresiasi bagi para staf KKP terkait yang telah memberi contoh dalam keberanian dan konsistensi penegakkan hukum di wilayah perairan negara kita, di tengah situasi krisis kepemimpinan yang sedang mendera elite pemerintahan di negara kita. Di tengah maraknya bersinggungannya kembali Indonesia-Malaysia dalam peristiwa di atas, kita tentu tak bisa memalingkan batin kita pada 20 awak kapal Sinar Kudus yang telah disandera hampir sebulan lamanya oleh Perompak Somalia. Sebagai seorang warga negara biasa, saya hanya berharap semoga pemerintah kita dan pihak-pihak yang terkait, dalam hal ini PT Samudera Indonesia berupaya keras untuk mencari solusi pembebasan mereka. Ingat, para awak kapal dan kaptennya yang tengah disandera itu bukan perompak, mereka pahlawan devisa bagi negara kita. Semoga pada persoalan ini pemerintah kita mampu mengupayakan negara kita menjadi ‘negara betulan,’ mengupayakan berbagai kemungkinan yang jitu dan segera demi keselamatan mereka yang disandera, terlepas dari “right,” ”wrong,” serta basa-basi yang hanya merupakan kosmetik belaka. Patut diingat, menurut penuturan Kapten Kapal Slamet Djauhari, kondisi beberapa awak kapal Sinar Kudus berada dalam keadaan sakit, di tengah kondisi logistik yang kian menipis Sekalipun ungkapan ini terdengar seram, “Right or Wrong is My Country” merupakan motivasi dan pendorong yang begitu kuat bagi sebuah negara dan pemerintahnya, terutama dalam melindungi segenap negara dan warga negaranya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/johann.nindito.adisuryo/indonesia-malaysia-dan-prinsip-negara-betulan_5500acaca333117c6f511bee
Kutipan di atas sering kita dengar dalam versi lain, “Right or wrong is My Country”. Pepatah inilah yang terlintas di benak saya ketika tersiar kabar bahwa ada ‘singgungan’ lagi antara Indonesia dengan Malaysia di garis terdepan Selat Malaka. Saya, usia 21 tahun, Warga Negara Indonesia, sangat terenyuh mendengar kabar yang cukup diangkat menjadi berita di media massa nasional. Disebutkan bahwa Kapal Patroli 001 “Hiu” milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)-RI berhasil menangkap dua kapal nelayan berbendera Malaysia. Dua kapal nelayan beserta 10 Anak Buah Kapal (ABK)-nya tersebut kemudian ditahan di Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) Belawan, Sumatra Utara. Tuduhan yang dikenakan pada dua kapal tersebut tidak main-main. Kedua kapal tersebut didapati masuk ke dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar wilayah Selat Malaka. Kedua kapal tersebut juga didapati sedang menangkap ikan di wilayah tersebut. Parahnya lagi, penangkapan (baca: pencurian) ikan tersebut dilakukan dengan trawl (pukat harimau). Jala jenis tersebut merupakan alat tangkap ikan yang secara yuridis dilarang, termasuk oleh hukum negara kita, karena dapat merusak lingkungan. Celah-celah yang sangat rapat pada pukat harimau dapat membuat ikan-ikan yang masih kecil atau masih jauh dari umurnya dapat tertangkap. Hal itu dapat membuat kerusakan ekosistem suatu wilayah perairan, dalam bentuk gangguan pada daur hidup ikan dan ketersediaan jumlah ikan di perairan tersebut. Tindakan memalukan tersebut lantas seolah tampak berubah menjadi sebuah peristiwa heroik, dengan hadirnya empat helikopter Tentara Diraja Malaysia dari Kesatuan Marinir. Saya, 21 tahun, Warga negara Indonesia, kembali terenyuh menonton peristiwa tersebut, baik dari televisi maupun internet. Helikopter-helikopter tersebut tampak melakukan interception (pencegatan) dari udara, mendekati kapal “Hiu” milik KKP dan berusaha memaksa pihak KKP untuk melepaskan dua kapal berbendera Malaysia tersebut. Kita semua harus mengapresiasi tindakan DKP, yang ternyata tetap menangkap kedua kapal nelayan tersebut untuk menuntut pertanggungjawaban hukum atas tindakan mereka dan mampu mengatasi ‘ancaman’ dari Helikopter Marinir Malaysia. Semoga kita menjadi bangsa yang tak cepat lupa dengan sejarah. Peristiwa di atas bukan pertama kalinya terjadi. Kasus-kasus serupa pernah terjadi sebelumnya. Tentu belum lepas dari ingatan kita pada beberapa hari sebelum peringatan HUT RI ke-65 tahun lalu. Pada waktu itu, tiga staf KKP dan kapalnya ditahan oleh Kapal Patroli Polisi Diraja Malaysia dengan tuduhan melanggar batas wilayah mereka. Hal itu terjadi hanya beberapa waktu berselang setelah para staf KKP tersebut menangkap nelayan Malaysia yang kedapatan mencuri ikan di Perairan Bintan, Kepri. Seolah-olah, pihak Polisi Diraja Malaysia melakukan reaksi balik setelah didapati kapal nelayan dari negara mereka ada yang tertangkap. Lepas dari persoalan hukum internasional dalam batas-batas antara Indonesia dan Malaysia yang belum disepakati oleh pemerintah kedua negara, kita tentu tak hanya prihatin seperti yang sering diucapkan elite negeri ini. Kita pasti merasa miris, ketika mendengar perairan kita dimasuki kapal nelayan asing, yang leluasa menangkap ikan serta memakai alat yang ilegal dan merusak lingkungan pula. Namun kita tentu lebih miris melihat tindakan heroik Tentara Diraja Malaysia melakukan pencegatan dan menuntut kapal nelayan berbendera negara mereka untuk dibebaskan. Kita akan lebih miris lagi jika melihat kenyataan bahwa Pemerintah Malaysia sampai mengirim nota protes kepada Pemerintah Indonesia. Bahkan, Menteri Luar Negeri Malaysia sampai mengatakan bahwa Pemerintah Malaysia “tidak habis pikir” dengan tindakan penagkapan tersebut. Lepas dari siapa yang benar dan siapa yang melanggar hukum atau peraturan tertentu, Malaysia untuk kesekian kalinya menohok kita, tentang siapa yang lebih menjadi ‘negara betulan.’ Persoalan benar atau salah, mematuhi atau melanggar, menjadi pertimbangan yang masih di urutan kesekian bagi sebuah negara dan pemerintahnya pada situasi tertentu. Yang nomor satu, tentu saja perlindungan bagi warga negara serta instrumen ataupun aset yang terkait dengannya. Di samping itu, tetap apresiasi bagi para staf KKP terkait yang telah memberi contoh dalam keberanian dan konsistensi penegakkan hukum di wilayah perairan negara kita, di tengah situasi krisis kepemimpinan yang sedang mendera elite pemerintahan di negara kita. Di tengah maraknya bersinggungannya kembali Indonesia-Malaysia dalam peristiwa di atas, kita tentu tak bisa memalingkan batin kita pada 20 awak kapal Sinar Kudus yang telah disandera hampir sebulan lamanya oleh Perompak Somalia. Sebagai seorang warga negara biasa, saya hanya berharap semoga pemerintah kita dan pihak-pihak yang terkait, dalam hal ini PT Samudera Indonesia berupaya keras untuk mencari solusi pembebasan mereka. Ingat, para awak kapal dan kaptennya yang tengah disandera itu bukan perompak, mereka pahlawan devisa bagi negara kita. Semoga pada persoalan ini pemerintah kita mampu mengupayakan negara kita menjadi ‘negara betulan,’ mengupayakan berbagai kemungkinan yang jitu dan segera demi keselamatan mereka yang disandera, terlepas dari “right,” ”wrong,” serta basa-basi yang hanya merupakan kosmetik belaka. Patut diingat, menurut penuturan Kapten Kapal Slamet Djauhari, kondisi beberapa awak kapal Sinar Kudus berada dalam keadaan sakit, di tengah kondisi logistik yang kian menipis Sekalipun ungkapan ini terdengar seram, “Right or Wrong is My Country” merupakan motivasi dan pendorong yang begitu kuat bagi sebuah negara dan pemerintahnya, terutama dalam melindungi segenap negara dan warga negaranya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/johann.nindito.adisuryo/indonesia-malaysia-dan-prinsip-negara-betulan_5500acaca333117c6f511bee
x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar