PRINSIP HIDUP NEGARA INDONESIA DAN SINGAPURA
Prinsip Hidup Negara Indonesia
Perbedaan budaya dan etnis penduduk
Indonesia sangat besar. Hal ini terjadi antara lain karena banyaknya
suku bangsa yang mendiami kepulauan di Indonesia. Kelompok-kelompok
penduduk yang saling berbeda ini memiliki keistimewaan masing-masing
yang sekaligus menjadi ciri-ciri khas regional daerah tersebut.
Masing-masing suku juga memiliki
kebanggaan, kelemahan, juga nilai-nilai dan norma-norma. Semua ini
dapat terlihat dalam kebiasaan dan tingkah laku dalam kehidupan
sehari-harinya. Tentunya di antara perbedaan itu juga ada kesamaan,
karena pada dasarnya mereka berasal dari satu bangsa. Bangsa Indonesia.
1. Terima nasib
Prinsip Hidup Negara Indonesia
Satu dasar pemikiran yang
mempercayai bahwa bersamaan dengan kelahiran, factor nasib seseorang
sudah ditentukan. Biasanya factor nasib dalam kehidupan akan muncul di
permukaan bila sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada seseorang.
Dalam hal ini sikap yang akan diambil oleh yang bersangkutan adalah:”
Ya, sudahlah. Terima saja nasibmu. Itu sudah takdir dalam kehidupanmu”.
2. Hierarki
Seseorang yang dapat menerima adanya
factor nasib akan mudah menerima adanya faktor hierarki dalam
kehidupannya. Suatu ketidak samaan adalah hal yang biasa. Suatu
pekerjaan yang fungsinya “mengerjakan”sesuatu untuk orang lain dalam hal
ini bukanlah dianggap sebagai hal yang merendahkan diri. Jadi pekerjaan
semacam supir, koki, baby sitter, bukanlah pekerjaan yang hina.
Pekerjaan yang harus disyukuri
karena mungkin memang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Sudah menjadi
nasibnya. Untuk dapat menimbulkan rasa bersyukur atas apa yang
dimilikinya, biasanya sejak kecil telah diajari untuk tidak selalu
melihat “ke atas”, tetapi sering-sering melihat “ke bawah”.
3. Rasa Hormat dan menghormati
Seperti yang kita ketahui, Indonesia
adalah Negara yang penduduknya sangat menghargai norma-norma dan
nilai-nilai dalam kehidupan sehari-harinya. Di Indonesia kehormatan
adalah salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan
sehari-harinya. Bila kehormatan seseorang dilanggar maka dia akan
menjadi malu. Dan karena rasa malu ini bisa menyebabkan dia menjadi mata
gelap.
Salah satu contoh yang jelas adalah,
betapa tersinggung dan malunya seorang warga Bugis yang dalam tidurnya
kentut kecil tetapi entah karena bunyinya yang terdengar aneh atau
karena hal yang lain, yang hadir dan mendengarnya semuanya tertawa…
Akibatnya dia mengambil parangnya dan dengan membabi buta menusuk dan
melukai beberapa yang hadir.
4. Halus
Satu kebiasaan sikap yang pada
awalnya termasuk dalam tata tertib kehidupan “istana” dan kalangan atas.
Kebiasaan ini dilakukan terutama untuk menghormati “rajanya”. Suatu
sikap yang halus sebetulnya juga berhubungan erat dengan olah batiniah
dan latar belakang social ekonomi serta pendidikan seseorang.
Dengan melalui olah batin ini, akan
mudah dicapai suatu sikap hidup yang lembut misalnya: Lembut
berbicara, tidak terlalu mengumbar kata, menghindari rasa cepat marah,
sopan santun pada sesamanya dan tidak kasar dalam berkata dan bertindak.
Belajar mengendalikan diri dan hidup dengan dasar “relativering” sangat
mendukung prinsip dan sikap hidup yang halus.
Keadaan lingkungan sosial ekonomi
seseorang sangat mempengaruhi kebiasaan kehidupannya. Juga pendidikan
memberikan sumbangan dalam cara berpikir dan berperilaku pada seseorang.
Seseorang yang tidak terlalu banyak
bicara di Indonesia, bukanlah hal yang aneh. Justru dengan sikapnya itu
kita bisa melihat sifat bijaksana yang dimilikinya. Misalnya, seseorang
tidak perlu menggunakan kata-kata kasar, atau mencaci buta dan
membentak-bentak orang lain untuk menyatakan ketidak setujuannya.
Gunakan cara yang halus dan
sesubtiel mungkin’, karena dengan cara ini, saya yakin akan lebih bisa
mencapai sasarannya. Daaaannn, tidak akan terjadi perang… Tentu semua
ada kekecualiannya..
5. Anti-individualisme
Sebetulnya setiap orang Indonesia
merasa dirinya menjadi anggota dari suatu kelompok tertentu. Sangat
mustahil kalau seseorang tidak membutuhkan kehadiran orang lain. Apapun
alasannya. Bisa kita bayangkan, bagaimana bisa berdiskusi kalau
seseorang mengatakan saya tidak perlu kehadiran orang lain. Nanti khan
dia akan meracu sendiri. Dan bisa-bisa jadi penghuni Rumah Edan di
Heillo.
Kelompok yang terpenting dalam hal
ini adalah: Keluarga. Siapa yang kehilangan rasa hormatnya entah karena
kesalahan sendiri atau karena kesalahan orang lain, akan mempermalukan
seluruh anggota keluarga yang bersangkutan. Misalnya, kasus perceraian.
Keluarga menjadi marah besar karena khawatir bahwa perceraian itu akan
menghancurkan nama baik keluarga, atau karena perceraian itu akan
merusak status keluarga dalam kehidupan kemasyarakatannya…
Singapura (nama resmi: Republik Singapura)
adalah sebuah negara pulau di
lepas ujung selatan Semenanjung Malaya,
137 kilometer (85 mi) di utara khatulistiwa di Asia Tenggara. Negara ini terpisah dari Malaysia oleh Selat Johor di utara, dan dari Kepulauan Riau, Indonesia oleh Selat Singapura di selatan. Singapura
adalah pusat keuangan terdepan keempat di dunia dan sebuah kota dunia kosmopolitan yang memainkan
peran penting dalam perdagangan dan keuangan internasional. Pelabuhan Singapura
adalah satu dari lima pelabuhan tersibuk di dunia.
1.
Pendiri negara yang hebat
Singapura bersyukur memiliki founding
fathers hebat seperti Lee Kuan Yew, S. Rajaratnam, dan Goh Keng Swee.
Ketiga orang ini luar biasa. Mereka pintar dan mendedikasikan hidup mereka
sepenuhnya untuk kebaikan orang-orang Singapura.
2.
Menerapkan sistem meritokrasi
Singapura sukses karena sejak awal
para pendiri bangsa menerapkan sistem meritokrasi. Mereka menempatkan
orang-orang pilihan untuk memimpin bangsa dan memberlakukan meritokrasi sebagai
dasar bagi pelayanan publik. Lee Kuan Yew sendiri menegaskan bahwa kepemimpinan
politik yang kuat membutuhkan pelayan publik yang netral, efisien dan jujur.
Mereka dipilih dan mendapat kenaikan pangkat atas dasar merit, atau kinerja
mereka.
Mereka (para PNS) ini harus
menjalani prinsip pembangunan bangsa yang sama dan bekerja sesuai tujuan dari
para pemimpin politik. Mereka juga mendapat upah yang sesuai, sehingga sanggup
melawan godaan untuk korupsi. Lembaga khusus dibentuk untuk mengakses karakter
pegawai, dan memberikan beasiswa kepada calon-calon yang terbaik.
3.
Mau belajar dari negara lain
Singapura sukses karena para
pemimpinnya tidak malu untuk belajar dari negara lain. Singapura adalah negara
yang paling pragmatis di dunia dan berhasil mengadopsi solusi yang ditawarkan
oleh negara lain. Bahkan sekarang, program pendidikan Lee Kuan Yew
didedikasikan untuk menyebarluaskan praktek-praktek terbaik di Singapura ke
negara-negara berkembang.
4.Politik
luar negeri yang pragmatis
Sebagai negara kecil Singapura tidak
kaku dalam politik luar negerinya (non-blok). Misalnya, selama Perang Dingin,
Singapura menjadi sahabat bagi Amerika Serikat, namun tidak menutup diri bagi
Uni Soviet (Rusia), bahkan tetap membolehkan kapal-kapal Rusia bersandar di
Singapura. Menteri Luar Negeri Singapura kala itu S. Rajaratnam dalam pidatonya
di PBB mengatakan bahwa Singapura ingin hidup secara damai dengan negara-negara
tetangga, karena Singapura akan rugi jika berperang melawan mereka.
5.
Memulai dengan kesuksesan kecil
Kesuksesan Singapura terletak pada
keterfokusan para pemimpinnya untuk berhasil dalam hal-hal kecil namun yang
memiliki efek perubahan yang besar. Bahkan pada masa-masa awal, ada pemimpin
yang mengatakan bahwa apabila mereka bisa membuat sebuah pipa air hadir di
sebuah desa, maka semua warga desa akan mendukung mereka.
Pemimpin Singapura percaya bahwa
kemajuan tidak bisa dicapai hanya melalui reformasi besar-besaran.
Langkah-langkah kecil yang memiliki dampak besar pada kehidupan orang
sehari-hari sangat perlu untuk memastikan bahwa kemajuan terjadi dalam cara
yang manfaatnya dirasakan.
6. Tidak bergantung pada bantuan luar negeri
Singapura tidak bergantung pada
bantuan luar negeri (foreign aid) untuk mencapai tujuan pembangunan. Para
pemimpin Singapura di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew, melihat bahwa bantuan
besar-besaran yang berasal dari luar negeri, tidak akan membantu. Karena
sebagian besar (sekitar 80%) dari bantuan tersebut kembali ke negara asal,
berupa pengeluaran administrasi, biaya konsultasi, dan kontrak bagi korporasi
dari negara donor.
Dengan demikian, secara faktual
hanya sedikit bantuan yang sebenarnya. Singapura selalu tidak percaya dengan
bantuan luar negeri, tapi sangat percaya pada perdagangan dan investasi. Jadi
ketika negara lain membendung investasi, Singapura membuka pintu lebar-lebar
untuk investasi. Dan hasilnya sangat luar biasa: Singapura menjadi negara maju.
7.
Kebijakan yang merangkul semua etnis
Kelompok suku utama di Singapura
adalah Cina, Melayu, India, tapi masih banyak lainnya. Dan untuk merangkul
semua suku, pemerintah menetapkan empat bahasa resmi yakni Inggris, Mandarin,
Melayu, dan Tamil. Tujuannya agar semua orang merasa bagian dari Singapura.
8.
Berpikir jauh ke depan
Para pemimpin Singapura seperti Lee
Kuan Yew dan Goh Keng Swee percaya pada visi jangka panjang. Misalnya
perjanjian menyangkut penyediaan air dengan Malaysia selama 100 tahun yang
dilakukan tahun 1961.
Selama perjanjian itu berjalan
Singapura terus membangun tempat penampungan dan penyulingan air serta
fasilitas reklamasi air. Hebatnya lagi, tahun 2013 pemerintah mengumumkan bahwa
Singapura sudah mandiri air, bahkan jauh sebelum perjanjian itu berakhir.
9.
Menghindari langkah populis
Singapura menentang sistem ‘welfare
state’ atau negara kesejahteraan. Dalam sistem semacam
ini negara harus ikut campur, memberikan bantuan sana-sini, dan bisa
mengambil alih tugas seorang kepala keluarga yang harus bekerja untuk menafkahi
keluarganya. Lee Kuan Yew sejak awal mengatakan bahwa sistem kesejahteraan
menghilangkan kemandirian orang karena bergantung pada negara.
Namun demikian, Singapura menemukan
cara tersendiri untuk membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat yakni dengan
menginvestasi pada pendidikan, jaminan kesehatan, tempat tinggal dan
transportasi yang terjangkau. Pemerintah juga menetapkan dana wajib melalui
Central Provident Fund, di mana setiap pekerja setelah menerima gaji menyimpan
sejumlah uang yang kemudian bisa digunakan untuk membeli rumah, biaya
kesehatan, dan terutama uang pensiun.
10.
Kejujuran
Para pemimpin Singapura sejak masa-masa
awal berdirinya negara ini sudah menekankan sikap jujur, bahkan sangat jujur.
Mahbabuni berkisah bahwa tahun 1975, ada seorang menteri diajak oleh temannya
seorang pengusaha untuk pergi berlibur bersama. Menteri tersebut menolak ikut
dengan alasan tidak punya uang. Lalu pengusaha tersebut menawarkan akan
membiayai dia. Lalu dia pun pergi. Akan tetapi ketika dia pulang, dia ditahan.
Bagi Singapura, kejujuran sangat
penting karena warganya dan para investor akan percaya bahwa kebijakan yang
diambil pemerintah bukan untuk kepentingan para elit politik, tapi memiliki
tujuan untuk mensejahterakan rakyat.
Jika pemerintah jujur, rakyat dan
investor akan merasa yakin dengan kepemimpinan mereka. Kejujuran juga
menciptakan kestabilan politik yang memberikan ketenangan bagi para investor.
Kejujuran para pemimpin Singapura telah membawanya pada tangga sukses menjadi
negara yang maju.
http://indonesia.ucanews.com/2015/03/25/10-pelajaran-dari-kesuksesan-singapura-bersama-lee-kuan-yew/
Kutipan di atas sering
kita dengar dalam versi lain, “Right or wrong is My Country”. Pepatah
inilah yang terlintas di benak saya ketika tersiar kabar bahwa ada
‘singgungan’ lagi antara Indonesia dengan Malaysia di garis terdepan
Selat Malaka. Saya, usia 21 tahun, Warga Negara Indonesia, sangat
terenyuh mendengar kabar yang cukup diangkat menjadi berita di media
massa nasional. Disebutkan bahwa Kapal Patroli 001 “Hiu” milik
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)-RI berhasil menangkap dua kapal
nelayan berbendera Malaysia. Dua kapal nelayan beserta 10 Anak Buah
Kapal (ABK)-nya tersebut kemudian ditahan di Pangkalan Utama Angkatan
Laut (Lantamal) Belawan, Sumatra Utara. Tuduhan yang dikenakan pada dua
kapal tersebut tidak main-main. Kedua kapal tersebut didapati masuk ke
dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar wilayah
Selat Malaka. Kedua kapal tersebut juga didapati sedang menangkap ikan
di wilayah tersebut. Parahnya lagi, penangkapan (baca: pencurian) ikan
tersebut dilakukan dengan trawl (pukat harimau). Jala jenis tersebut
merupakan alat tangkap ikan yang secara yuridis dilarang, termasuk oleh
hukum negara kita, karena dapat merusak lingkungan. Celah-celah yang
sangat rapat pada pukat harimau dapat membuat ikan-ikan yang masih kecil
atau masih jauh dari umurnya dapat tertangkap. Hal itu dapat membuat
kerusakan ekosistem suatu wilayah perairan, dalam bentuk gangguan pada
daur hidup ikan dan ketersediaan jumlah ikan di perairan tersebut.
Tindakan memalukan tersebut lantas seolah tampak berubah menjadi sebuah
peristiwa heroik, dengan hadirnya empat helikopter Tentara Diraja
Malaysia dari Kesatuan Marinir. Saya, 21 tahun, Warga negara Indonesia,
kembali terenyuh menonton peristiwa tersebut, baik dari televisi maupun
internet. Helikopter-helikopter tersebut tampak melakukan interception
(pencegatan) dari udara, mendekati kapal “Hiu” milik KKP dan berusaha
memaksa pihak KKP untuk melepaskan dua kapal berbendera Malaysia
tersebut. Kita semua harus mengapresiasi tindakan DKP, yang ternyata
tetap menangkap kedua kapal nelayan tersebut untuk menuntut
pertanggungjawaban hukum atas tindakan mereka dan mampu mengatasi
‘ancaman’ dari Helikopter Marinir Malaysia.
Semoga kita menjadi bangsa yang tak cepat lupa dengan sejarah. Peristiwa
di atas bukan pertama kalinya terjadi. Kasus-kasus serupa pernah
terjadi sebelumnya. Tentu belum lepas dari ingatan kita pada beberapa
hari sebelum peringatan HUT RI ke-65 tahun lalu. Pada waktu itu, tiga
staf KKP dan kapalnya ditahan oleh Kapal Patroli Polisi Diraja Malaysia
dengan tuduhan melanggar batas wilayah mereka. Hal itu terjadi hanya
beberapa waktu berselang setelah para staf KKP tersebut menangkap
nelayan Malaysia yang kedapatan mencuri ikan di Perairan Bintan, Kepri.
Seolah-olah, pihak Polisi Diraja Malaysia melakukan reaksi balik setelah
didapati kapal nelayan dari negara mereka ada yang tertangkap.
Lepas dari persoalan hukum internasional dalam batas-batas antara
Indonesia dan Malaysia yang belum disepakati oleh pemerintah kedua
negara, kita tentu tak hanya prihatin seperti yang sering diucapkan
elite negeri ini. Kita pasti merasa miris, ketika mendengar perairan
kita dimasuki kapal nelayan asing, yang leluasa menangkap ikan serta
memakai alat yang ilegal dan merusak lingkungan pula. Namun kita tentu
lebih miris melihat tindakan heroik Tentara Diraja Malaysia melakukan
pencegatan dan menuntut kapal nelayan berbendera negara mereka untuk
dibebaskan. Kita akan lebih miris lagi jika melihat kenyataan bahwa
Pemerintah Malaysia sampai mengirim nota protes kepada Pemerintah
Indonesia. Bahkan, Menteri Luar Negeri Malaysia sampai mengatakan bahwa
Pemerintah Malaysia “tidak habis pikir” dengan tindakan penagkapan
tersebut. Lepas dari siapa yang benar dan siapa yang melanggar hukum
atau peraturan tertentu, Malaysia untuk kesekian kalinya menohok kita,
tentang siapa yang lebih menjadi ‘negara betulan.’ Persoalan benar atau
salah, mematuhi atau melanggar, menjadi pertimbangan yang masih di
urutan kesekian bagi sebuah negara dan pemerintahnya pada situasi
tertentu. Yang nomor satu, tentu saja perlindungan bagi warga negara
serta instrumen ataupun aset yang terkait dengannya. Di samping itu,
tetap apresiasi bagi para staf KKP terkait yang telah memberi contoh
dalam keberanian dan konsistensi penegakkan hukum di wilayah perairan
negara kita, di tengah situasi krisis kepemimpinan yang sedang mendera
elite pemerintahan di negara kita.
Di tengah maraknya bersinggungannya kembali Indonesia-Malaysia dalam
peristiwa di atas, kita tentu tak bisa memalingkan batin kita pada 20
awak kapal Sinar Kudus yang telah disandera hampir sebulan lamanya oleh
Perompak Somalia. Sebagai seorang warga negara biasa, saya hanya
berharap semoga pemerintah kita dan pihak-pihak yang terkait, dalam hal
ini PT Samudera Indonesia berupaya keras untuk mencari solusi pembebasan
mereka. Ingat, para awak kapal dan kaptennya yang tengah disandera itu
bukan perompak, mereka pahlawan devisa bagi negara kita. Semoga pada
persoalan ini pemerintah kita mampu mengupayakan negara kita menjadi
‘negara betulan,’ mengupayakan berbagai kemungkinan yang jitu dan segera
demi keselamatan mereka yang disandera, terlepas dari “right,” ”wrong,”
serta basa-basi yang hanya merupakan kosmetik belaka. Patut diingat,
menurut penuturan Kapten Kapal Slamet Djauhari, kondisi beberapa awak
kapal Sinar Kudus berada dalam keadaan sakit, di tengah kondisi logistik
yang kian menipis
Sekalipun ungkapan ini terdengar seram, “Right or Wrong is My Country”
merupakan motivasi dan pendorong yang begitu kuat bagi sebuah negara dan
pemerintahnya, terutama dalam melindungi segenap negara dan warga
negaranya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/johann.nindito.adisuryo/indonesia-malaysia-dan-prinsip-negara-betulan_5500acaca333117c6f511bee
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/johann.nindito.adisuryo/indonesia-malaysia-dan-prinsip-negara-betulan_5500acaca333117c6f511bee
Kutipan di atas sering
kita dengar dalam versi lain, “Right or wrong is My Country”. Pepatah
inilah yang terlintas di benak saya ketika tersiar kabar bahwa ada
‘singgungan’ lagi antara Indonesia dengan Malaysia di garis terdepan
Selat Malaka. Saya, usia 21 tahun, Warga Negara Indonesia, sangat
terenyuh mendengar kabar yang cukup diangkat menjadi berita di media
massa nasional. Disebutkan bahwa Kapal Patroli 001 “Hiu” milik
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)-RI berhasil menangkap dua kapal
nelayan berbendera Malaysia. Dua kapal nelayan beserta 10 Anak Buah
Kapal (ABK)-nya tersebut kemudian ditahan di Pangkalan Utama Angkatan
Laut (Lantamal) Belawan, Sumatra Utara. Tuduhan yang dikenakan pada dua
kapal tersebut tidak main-main. Kedua kapal tersebut didapati masuk ke
dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar wilayah
Selat Malaka. Kedua kapal tersebut juga didapati sedang menangkap ikan
di wilayah tersebut. Parahnya lagi, penangkapan (baca: pencurian) ikan
tersebut dilakukan dengan trawl (pukat harimau). Jala jenis tersebut
merupakan alat tangkap ikan yang secara yuridis dilarang, termasuk oleh
hukum negara kita, karena dapat merusak lingkungan. Celah-celah yang
sangat rapat pada pukat harimau dapat membuat ikan-ikan yang masih kecil
atau masih jauh dari umurnya dapat tertangkap. Hal itu dapat membuat
kerusakan ekosistem suatu wilayah perairan, dalam bentuk gangguan pada
daur hidup ikan dan ketersediaan jumlah ikan di perairan tersebut.
Tindakan memalukan tersebut lantas seolah tampak berubah menjadi sebuah
peristiwa heroik, dengan hadirnya empat helikopter Tentara Diraja
Malaysia dari Kesatuan Marinir. Saya, 21 tahun, Warga negara Indonesia,
kembali terenyuh menonton peristiwa tersebut, baik dari televisi maupun
internet. Helikopter-helikopter tersebut tampak melakukan interception
(pencegatan) dari udara, mendekati kapal “Hiu” milik KKP dan berusaha
memaksa pihak KKP untuk melepaskan dua kapal berbendera Malaysia
tersebut. Kita semua harus mengapresiasi tindakan DKP, yang ternyata
tetap menangkap kedua kapal nelayan tersebut untuk menuntut
pertanggungjawaban hukum atas tindakan mereka dan mampu mengatasi
‘ancaman’ dari Helikopter Marinir Malaysia.
Semoga kita menjadi bangsa yang tak cepat lupa dengan sejarah. Peristiwa
di atas bukan pertama kalinya terjadi. Kasus-kasus serupa pernah
terjadi sebelumnya. Tentu belum lepas dari ingatan kita pada beberapa
hari sebelum peringatan HUT RI ke-65 tahun lalu. Pada waktu itu, tiga
staf KKP dan kapalnya ditahan oleh Kapal Patroli Polisi Diraja Malaysia
dengan tuduhan melanggar batas wilayah mereka. Hal itu terjadi hanya
beberapa waktu berselang setelah para staf KKP tersebut menangkap
nelayan Malaysia yang kedapatan mencuri ikan di Perairan Bintan, Kepri.
Seolah-olah, pihak Polisi Diraja Malaysia melakukan reaksi balik setelah
didapati kapal nelayan dari negara mereka ada yang tertangkap.
Lepas dari persoalan hukum internasional dalam batas-batas antara
Indonesia dan Malaysia yang belum disepakati oleh pemerintah kedua
negara, kita tentu tak hanya prihatin seperti yang sering diucapkan
elite negeri ini. Kita pasti merasa miris, ketika mendengar perairan
kita dimasuki kapal nelayan asing, yang leluasa menangkap ikan serta
memakai alat yang ilegal dan merusak lingkungan pula. Namun kita tentu
lebih miris melihat tindakan heroik Tentara Diraja Malaysia melakukan
pencegatan dan menuntut kapal nelayan berbendera negara mereka untuk
dibebaskan. Kita akan lebih miris lagi jika melihat kenyataan bahwa
Pemerintah Malaysia sampai mengirim nota protes kepada Pemerintah
Indonesia. Bahkan, Menteri Luar Negeri Malaysia sampai mengatakan bahwa
Pemerintah Malaysia “tidak habis pikir” dengan tindakan penagkapan
tersebut. Lepas dari siapa yang benar dan siapa yang melanggar hukum
atau peraturan tertentu, Malaysia untuk kesekian kalinya menohok kita,
tentang siapa yang lebih menjadi ‘negara betulan.’ Persoalan benar atau
salah, mematuhi atau melanggar, menjadi pertimbangan yang masih di
urutan kesekian bagi sebuah negara dan pemerintahnya pada situasi
tertentu. Yang nomor satu, tentu saja perlindungan bagi warga negara
serta instrumen ataupun aset yang terkait dengannya. Di samping itu,
tetap apresiasi bagi para staf KKP terkait yang telah memberi contoh
dalam keberanian dan konsistensi penegakkan hukum di wilayah perairan
negara kita, di tengah situasi krisis kepemimpinan yang sedang mendera
elite pemerintahan di negara kita.
Di tengah maraknya bersinggungannya kembali Indonesia-Malaysia dalam
peristiwa di atas, kita tentu tak bisa memalingkan batin kita pada 20
awak kapal Sinar Kudus yang telah disandera hampir sebulan lamanya oleh
Perompak Somalia. Sebagai seorang warga negara biasa, saya hanya
berharap semoga pemerintah kita dan pihak-pihak yang terkait, dalam hal
ini PT Samudera Indonesia berupaya keras untuk mencari solusi pembebasan
mereka. Ingat, para awak kapal dan kaptennya yang tengah disandera itu
bukan perompak, mereka pahlawan devisa bagi negara kita. Semoga pada
persoalan ini pemerintah kita mampu mengupayakan negara kita menjadi
‘negara betulan,’ mengupayakan berbagai kemungkinan yang jitu dan segera
demi keselamatan mereka yang disandera, terlepas dari “right,” ”wrong,”
serta basa-basi yang hanya merupakan kosmetik belaka. Patut diingat,
menurut penuturan Kapten Kapal Slamet Djauhari, kondisi beberapa awak
kapal Sinar Kudus berada dalam keadaan sakit, di tengah kondisi logistik
yang kian menipis
Sekalipun ungkapan ini terdengar seram, “Right or Wrong is My Country”
merupakan motivasi dan pendorong yang begitu kuat bagi sebuah negara dan
pemerintahnya, terutama dalam melindungi segenap negara dan warga
negaranya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/johann.nindito.adisuryo/indonesia-malaysia-dan-prinsip-negara-betulan_5500acaca333117c6f511bee
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/johann.nindito.adisuryo/indonesia-malaysia-dan-prinsip-negara-betulan_5500acaca333117c6f511bee
x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar