BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bandung
sebagai kota yang direncanakan untuk menjadi Ibu Kota Hindia Belanda
(Voskuil,1996) mempunyai sebuah kawasan cikal bakal pusat pemerintahannya,
yaitu Gedung Sate.
Gedung Sate dengan ciri khasnya berupa ornamen tusuk sate pada
menara sentralnya, telah lama menjadi penanda atau markah tanah Kota Bandung yang
tidak saja dikenal masyarakat di Jawa Barat, namun juga
seluruh Indonesia bahkan
model bangunan itu dijadikan pertanda bagi beberapa bangunan dan tanda-tanda
kota di Jawa Barat.
Gedung Sate memiliki nama Gouverments
Bedrijiven (GB) yang digunakan sebagai Pusat Perkantoran
Instansi Pemerintahan Sipil Hindia Belanda. Karena sekarang banyak dikunjungi
oleh masyarakat bandung sebagai objek wisata.
Selain Gedung Sate lingkungan sekitarnya
pun di tata dengan baik, Gaya arsitektur bangunannya dibuat selaras dengan gaya
bangunan Gedung Sate, menggunakan atap bersudut dengan penutup atap sirap.
Struktur bangunannya relatif sama, menggunakan dinding pemikul dengan material
yang berkualitas baik. Seiring berjalannya waktu perkembangan Kota Bandung
tidak dapat dihindarkan, demikian pula pada kawasan Gedung Sate yang merupakan
kawasan konservasi. Gedung Sate sebagai cagar budaya yang harus di dilestarikan
dan dilindungi.
1.2. Tujuan Konservasi Arsitektur
Menjelaskan
tujuan dari konservasi pada Gedung dijelaskan kedalam dua bagian yaitu untuk mengetahui
dan memahami mengenai cara pelestarian Gedung Sate.
1.3. Batasan Masalah
Memberi
batasan yang jelas mengenai bagaimana bangunan baru beradapatasi terhadap gaya
arsitektur bangunan Gedung Sate sebagai upaya menjaga keharmonisan di kawasan
konservasi.
1.4. Rumusan Masalah
Perumusan masalah pada penulisan laporan konservasi
arsitektur adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana cara pelestarian Gedung Sate saat ini ?
2.
Apakah ada peralihan fungsi pada Gedung Sate ?
BAB II
TINJAUAN KONSERVASI ARSITEKTUR
2.1. Tinjauan Lokasi Gedung Sate
Tinjauan mengenai Lokasi Gedung Sate
sebagai konservasi yang berada di Bandung Jawa Barat.
·
Nama bangunan : Gedung Sate
·
Arsitek : Ir.J.Gerber
·
Fungsi : Gedung Pemerintahan Jawa Barat
·
Lokasi : Jl. Diponegoro No.22, Bandung –
Jawa Barat
·
Luas lahan : 27.990,859 m²
·
Luas bangunan : 10.877,734 m²
·
Batas wilayah ;
·
Utara : Jl. Diponegoro
·
Barat : Jl. Cimandiri
·
Selatan: Jl. Cimandiri
·
Timur : Jl. Cilaki
Gambar
2.1. Lokasi Gedung Sate.
Sumber : Jurnal Reka Karsa, 2015
Gedung
Sate memiliki bentuk persegi panjang dan juga memiliki denah yang simetris.
Dengan kemiringan atap sekitar 450.
Gambar
2.2. Bentuk Gedung Sate
Sumber : Jurnal Reka Karsa, 2015
Gambar
2.3. Denah Gedung Sate
Sumber : Jurnal Reka Karsa, 2015
Memiliki
ritme vertikal dan horizontal yang relatif sama dan memiliki struktur yang
kuat. Dengan pola pengulangan bentuk yang sam pada bagian kiri dan kanan baik
pada fisik bangunan maupun pada denah bangunan.
Gambar
2.4. Tampak Gedung Sate
Sumber : Jurnal Reka Karsa, 2015
BAB
III
PAMBAHASAN
3.1. Definisi Cagar Budaya,
Pelestarian Dan Pengembangan
Cagar Budaya adalah warisan budaya
bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur
Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di
air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui
proses penetapan.
Bangunan
Cagar Budaya Berdasarkan Perda No. 9 Tahun
1999 Tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Cagar
Budaya, bangunan cagar budaya dari segi arsitektur maupun sejarahnya dibagi
dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :
·
Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan
A
Bangunan dilarang dibongkar dan atau
diubah. Apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak
tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula
sesuai dengan aslinya.
Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus
menggunakan bahan yang sama / sejenis atau memiliki karakter yang sama, dengan
mempertahankan detail ornamen bangunan yang telah ada. Dalam upaya revitalisasi
dimungkinkan adanya penyesuaian / perubahan fungsi sesuai rencana kota yang
berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya Di dalam persil atau lahan
bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi satu
kesatuan yang utuh dengan bangunan utama
·
Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan
B
Bangunan dilarang dibongkar secara
sengaja, dan apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak
layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti
semula sesuai dengan aslinya. Pemeliharan dan perawatan bangunan harus
dilakukan tanpa mengubah pola tampak depan, atap, dan warna, serta dengan
mempertahankan detail dan ornamen bangunan yang penting.
Dalam upaya rehabilitasi dan revitalisasi
dimungkinkan adanya perubahan tata ruang dalam asalkan tidak mengubah struktur
utama bangunan
Di dalam
persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan
yang menjadi satu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama
·
Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan
C
Perubahan bangunan dapat dilakukan dengan
tetap mempertahankan pola tampak muka, arsitektur utama dan bentuk atap
bangunan. Detail ornamen dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur
bangunan disekitarnya dalam keserasian lingkungan. Penambahan Bangunan di dalam
perpetakan atau persil hanya dapat dilakukan di belakang bangunan cagar budaya
yang harus sesuai dengan arsitektur bangunan cagar budaya dalam keserasian
lingkungan
Fungsi
bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana Kota
Pelestarian adalah upaya dinamis untuk
mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi,
mengembangkan, dan memanfaatkannya. Pelindungan adalah upaya mencegah dan
menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara
Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya.
Penyelamatan adalah upaya menghindarkan
dan/atau menanggulangi Cagar Budaya dari kerusakan, kehancuran, atau
kemusnahan. Pemeliharaan adalah upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik
Cagar Budaya tetap lestari. Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik
Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang rusak
sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknik pengerjaan
untuk memperpanjang usianya.
Pengembangan adalah peningkatan potensi
nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui
Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak
bertentangan dengan tujuan Pelestarian. Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar
Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap
mempertahankan kelestariannya.
3.2. Konservasi Arsitektur Gedung Sate Bandung
Gambar 3.1. Konservasi Gedung Sate
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Gedung_Sate
Konservasi adalah pelestarian atau
perlindungan Bangunan cagar budaya dari segi arsitektur maupun
sejarahnya dibagi dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :
·
cagar budaya golongan A,
·
cagar budaya golongan B,dan
·
cagar budaya golongan C.
Kriteria dan tolak ukur bangunan pemugaran :
·
Nilai sejarah
·
Usia / Umur Lingkungan
·
Keaslian
·
Kelangkaan
·
Tengeran / Landmark
·
Arsitektur
Menurut Wikipedia, konservasi adalah
pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah, konservasi berasal dari bahasa
Inggris, Conservation yang artinya pelestarian atau perlindungan.
Pengertian Konservasi Arsitektur adalah
penyelamatan suatu obyek/bangunan sebagai bentuk apreasiasi pada perjalanan
sejarah suatu bangsa, pendidikan dan pembangunan wawasan intelektual bangsa
antar generasi.
Theodore Roosevelt (1902) merupakan orang
Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi yang
berasal dari kata conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save)
yang memiliki pengertian tentang upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara
bijaksana (wise use).
Pada awalnya konsep konservasi terbatas
pada pelestarian benda – benda/monumen bersejarah (biasa disebut preservasi).
Namun konsep konservasi tersebut berkembang, sasarannya tidak hanya mencakup
monumen, bangunan atau benda bersejarah melainkan pada lingkungan perkotaan
yang memiliki nilai sejarah serta kelangkaan yang menjadi dasar bagi suatu
tindakan konservasi.
Menurut Sidharta dan Budihardjo (1989),
konservasi merupakan suatu upaya untuk melestarikan bangunan atau lingkungan,
mengatur penggunaan serta arah perkembangannya sesuai dengan kebutuhan saat ini
dan masa mendatang sedemikian rupa sehingga makna kulturalnya akan dapat tetap
terpelihara.
Menurut Danisworo (1991), konservasi
merupakan upaya memelihara suatu tempat berupa lahan, kawasan, gedung maupun
kelompok gedung termasuk lingkungannya. Di samping itu, tempat yang
dikonservasi akan menampilkan makna dari sisi sejarah, budaya, tradisi,
keindahan, sosial, ekonomi, fungsional, iklim maupun fisik (Danisworo, 1992).
Dari aspek proses disain perkotaan (Shirvani, 1985), konservasi harus
memproteksi keberadaan lingkungan dan ruang kota yang merupakan tempat bangunan
atau kawasan bersejarah dan juga aktivitasnya.
Dalam Burra Charter konsep konservasi
adalah semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan yang telah
dirumuskan dalam piagam tersebut. Konservasi adalah konsep proses pengelolaan
suatu tempat atau ruang atau obyek agar makna kultural yang terkandung
didalamnya terpelihara dengan baik. Pengertian ini sebenarnya perlu diperluas
lebih spesifik yaitu pemeliharaan morfologi (bentuk fisik) dan fungsinya.
Kegiatan konservasi meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan
kondisi dan situasi lokal maupun upaya pengembangan untuk pemanfaatan lebih
lanjut. Bila dikaitkan dengan kawasan maka konservasi kawasan atau sub bagian
kota mencakup suatu upaya pencegahan adanya aktivitas perubahan sosial atau
pemanfaatan yang tidak sesuai dan bukan secara fisik saja.
Konservasi dengan demikian sebenarnya
merupakan pula upaya preservasi namun dengan tetap memanfaatkan kegunaan dari
suatu tempat untuk menampung/memberi wadah bagi kegiatan yang sama seperti
kegiatan asalnya atau bagi kegiatan yang sama sekali baru sehingga dapat
membiayai sendiri kelangsungan eksistensinya. Dengan kata lain konservasi suatu
tempat merupakan suatu proses daur ulang dari sumber daya tempat tersebut.
Sasaran
Konservasi
Mengembalikan wajah dari obyek pelestarian.
Memanfaatkan obyek pelestarian untuk menunjang kehidupan masa kini. Mengarahkan
perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu,
tercermin dalam obyek pelestarian. Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan
kota, dalam wujud fisik tiga dimensi lingkup kegiatan
Skala/Lingkup
Konservasi
·
Lingkungan Alami (Natural Area)
·
Kota dan Desa (Town and Village)
·
Garis Cakrawala dan Koridor pandang (Skylines and View
Corridor)
·
Kawasan (Districts)
·
Wajah Jalan (Street-scapes)
·
Bangunan (Buildings)
·
Benda dan Penggalan (Object and Fragments)
Manfaat
Konservasi
·
Memperkaya pengalaman visual
·
Memberi suasana permanen yang menyegarkan
·
Memberi kenyamanan psikologis
·
Mewariskan arsitektur
·
Asset komersial dalam kegiatan wisata internasional
Gambar 3.2. Gedung Sate
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Gedung_Sate
Gedung
Sate dengan ciri
khasnya berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya, telah lama menjadi
penanda atau markah tanah Kota Bandung yang
tidak saja dikenal masyarakat di Jawa Barat, namun juga
seluruh Indonesia bahkan
model bangunan itu dijadikan pertanda bagi beberapa bangunan dan tanda-tanda
kota di Jawa Barat. Misalnya bentuk gedung bagian depan Stasiun Kereta
Api Tasikmalaya. Mulai
dibangun tahun 1920, gedung berwarna putih ini masih berdiri kokoh namun anggun
dan kini berfungsi sebagai gedung pusat pemerintahan Jawa Barat.
Gambar 3.3. Tampak Gedung Sate Dari Jalan
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Gedung_Sate
Gedung Sate yang pada masa Hindia Belanda itu
disebut Gouvernements Bedrijven (GB), peletakan batu pertama
dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, puteri
sulung Wali kota Bandung, B. Coops dan Petronella Roelofsen, mewakili
Gubernur Jenderal di Batavia, J.P. Graaf van Limburg Stirum pada tanggal 27 Juli 1920,
merupakan hasil perencanaan sebuah tim yang terdiri dari Ir.J.Gerber, arsitek muda kenamaan lulusan
Fakultas Teknik Delft Nederland, Ir. Eh. De Roo dan Ir. G. Hendriks serta pihak Gemeente
van Bandoeng, diketuai Kol. Pur. VL. Slors dengan melibatkan 2000 pekerja,
150 orang di antaranya pemahat, atau ahli bongpay pengukir batu nisan dan
pengukir kayu berkebangsaan Cina yang berasal dari Konghu atau Kanton, dibantu
tukang batu, kuli aduk dan peladen yang berasal dari penduduk Kampung Sekeloa, Kampung Coblong Dago, Kampung Gandok dan Kampung Cibarengkok, yang sebelumnya mereka
menggarap Gedong Sirap (Kampus ITB) dan Gedong Papak (Balai Kota Bandung).
Gedung Sate
(ca.1920-28)
Selama kurun waktu 4 tahun pada bulan
September 1924 berhasil diselesaikan pembangunan induk bangunan utama Gouverments
Bedrijven, termasuk kantor pusat PTT (Pos, Telepon dan Telegraf) dan
Perpustakaan.
Arsitektur Gedung Sate merupakan hasil
karya arsitek Ir. J.Gerber dan kelompoknya yang tidak terlepas dari masukan
maestro arsitek Belanda Dr.Hendrik Petrus Berlage, yang bernuansakan
wajah arsitektur tradisional Nusantara.
Banyak kalangan arsitek dan ahli bangunan
menyatakan Gedung Sate adalah bangunan monumental yang anggun mempesona dengan
gaya arsitektur unik mengarah kepada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa,
(Indo Europeeschen architectuur stijl), sehingga tidak mustahil bila
keanggunan Candi Borobudur ikut mewarnai Gedung Sate.
Beberapa pendapat tentang megahnya Gedung
Sate di antaranya Cor Pashier dan Jan Wittenberg dua arsitek Belanda, yang
mengatakan "langgam arsitektur Gedung Sate adalah gaya hasil
eksperimen sang arsitek yang mengarah pada bentuk gaya arsitektur
Indo-Eropa". D. Ruhl dalam bukunya Bandoeng
en haar Hoogvlakte 1952, "Gedung Sate adalah bangunan terindah
di Indonesia".
Ir. H.P.Berlage, sewaktu kunjungan ke
Gedung Sate April 1923, menyatakan, "Gedung Sate adalah suatu
karya arsitektur besar, yang berhasil memadukan langgam timur dan barat secara
harmonis". Seperti halnya gaya arsitektur Italia pada
masa renaiscance terutama pada bangunan sayap barat. Sedangkan menara
bertingkat di tengah bangunan mirip atap meru atau pagoda. Masih
banyak lagi pendapat arsitek Indonesia yang menyatakan kemegahan Gedung Sate
misalnya Slamet Wirasonjaya, dan Ir. Harnyoto Kunto.
Kuat dan utuhnya Gedung Sate hingga kini,
tidak terlepas dari bahan dan teknis konstruksi yang dipakai. Dinding Gedung
Sate terbuat dari kepingan batu ukuran besar (1 × 1 × 2 m) yang diambil dari
kawasan perbukitan batu di Bandung timur sekitar Arcamanik dan Gunung Manglayang. Konstruksi
bangunan Gedung Sate menggunakan cara konvensional yang profesional dengan
memperhatikan standar teknik.
Gedung Sate berdiri di atas lahan seluas
27.990,859 m², luas bangunan 10.877,734 m² terdiri dari Basement 3.039,264 m²,
Lantai I 4.062,553 m², teras lantai I 212,976 m², Lantai II 3.023,796 m², teras
lantai II 212.976 m², menara 121 m² dan teras menara 205,169 m².
Gerber sendiri memadukan beberapa aliran
arsitektur ke dalam rancangannya. Untuk jendela, Gerber mengambil tema Moor Spanyol, sedangkan
untuk bangunannya dalah Rennaisance Italia. Khusus untuk menara, Gerber
memasukkan aliran Asia, yaitu gaya atap pura Bali atau pagoda di Thailand. Di
puncaknya terdapat "tusuk sate" dengan 6 buah ornamen sate (versi
lain menyebutkan jambu air atau melati), yang melambangkan 6 juta gulden -
jumlah biaya yang digunakan untuk membangun Gedung Sate. Ornamen yang terbuat
dari batu, terletak di atas pintu utama Gedung Sate, sering dikaitkan dengan
candi Borobudur karena
bentuknya yang serupa.
Fasade (tampak depan) Gedung Sate ternyata
sangat diperhitungkan. Dengan mengikuti sumbu poros utara-selatan (yang juga
diterapkan di Gedung Pakuan, yang menghadap Gunung Malabar di selatan), Gedung
Sate justru sengaja dibangun menghadap Gunung Tangkuban Perahu di
sebelah utara.
Dalam perjalanannya semula diperuntukkan
bagi Departemen Lalulintas dan Pekerjaan Umum, bahkan menjadi pusat
pemerintahan Hindia Belanda setelah Batavia dianggap sudah tidak memenuhi
syarat sebagai pusat pemerintahan karena perkembangannya, sehingga digunakan
oleh Jawatan Pekerjaan Umum. Tanggal 3 Desember 1945 terjadi peristiwa yang memakan
korban tujuh orang pemuda yang mempertahankan Gedung Sate dari serangan
pasukan Gurkha. Untuk mengenang
ke tujuh pemuda itu, dibuatkan tugu dari batu yang diletakkan di belakang
halaman Gedung Sate. Atas perintah Menteri Pekerjaan Umum pada tanggal 3
Desember 1970 Tugu tersebut dipindahkan ke halaman depan Gedung Sate.
Gedung Sate sejak tahun 1980 dikenal
dengan sebutan Kantor Gubernur karena sebagai pusat kegiatan Pemerintah
Provinsi Jawa Barat, yang sebelumnya Pemerintahaan Provinsi Jawa Barat
menempati Gedung Kerta Mukti di Jalan Braga Bandung.
Ruang kerja Gubernur terdapat di lantai II
bersama dengan ruang kerja Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah, Para Assisten dan
Biro. Saat ini Gubernur di bantu oleh tiga Wakil Gubernur yang menangani Bidang
Pemerintahan, Bidang Ekonomi dan Pembangunan, serta Bidang Kesejahteraan
Rakyat, seorang Sekretaris Daerah dan Empat Asisten yaitu Asisten Ketataprajaan,
Asisten Administrasi Pembangunan, Asisten Kesejahteraan Sosial dan Asisten
Administrasi.
Namun tidak seluruh Asisten menempati
Gedung Sate. Asisten Kesejahteraan Sosial dan Asisten Administrasi bersama staf
menempati Gedung Baru.
Di bagian timur dan barat terdapat dua
ruang besar yang akan mengingatkan pada ruang dansa (ball room) yang sering
terdapat pada bangunan masyarakat Eropa. Ruangan ini lebih sering dikenal
dengan sebutan aula barat dan aula timur, sering digunakan kegiatan resmi. Di
sekeliling kedua aula ini terdapat ruangan-ruangan yang di tempati beberapa
Biro dengan Stafnya.
Paling atas terdapat lantai yang disebut
Menara Gedung Sate, lantai ini tidak dapat dilihat dari bawah, untuk menuju ke
lantai teratas menggunakan Lift atau dengan menaiki tangga kayu.
Kesempurnaan megahnya Gedung Sate
dilengkapi dengan Gedung Baru yang mengambil sedikit gaya arsitektur Gedung
Sate namun dengan gaya konstektual hasil karya arsitek Ir.Sudibyo yang dibangun tahun 1977 diperuntukkan bagi para
Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Lembaga Legislatif Daerah.
Gedung Sate telah menjadi salah satu
tujuan objek wisata di kota Bandung. Khusus wisatawan manca negara banyak dari
mereka yang sengaja berkunjung karena memiliki keterkaitan emosi maupun history
pada Gedung ini. Keterkaitan emosi dan history ini mungkin akan terasa lebih
lengkap bila menaiki anak tangga satu per satu yang tersedia menuju menara
Gedung Sate. Ada 6 tangga yang harus dilalui dengan masing-masing 10 anak
tangga yang harus dinaiki.
Keindahan Gedung Sate dilengkapi dengan
taman disekelilingnya yang terpelihara dengan baik, tidak heran bila taman ini
diminati oleh masyarakat kota Bandung dan para wisatawan baik domestik maupun
manca negara. Keindahan taman ini sering dijadikan lokasi kegiatan yang
bernuansakan kekeluargaan, lokasi shooting video klip musik baik artis lokal
maupun artis nasional, lokasi foto keluarga atau foto diri bahkan foto pasangan
pengantin.
Khusus pada
hari minggu lingkungan halaman Gedung Sate dijadikan pilihan tempat sebagian
besar masyarakat untuk bersantai, sekadar duduk-duduk menikmati udara segar
kota Bandung atau berolahraga ringan.
Membandingkan Gedung Sate dengan
bangunan-bangunan pusat pemerintahan (capitol building) di banyak
ibukota negara sepertinya tidak berlebihan. Persamaannya semua dibangun di
tengah kompleks hijau dengan menara sentral yang megah. Terlebih dari segi
letak gedung sate serta lanskapnya yang relatif mirip dengan Gedung Putih di Washington, DC, Amerika Serikat. Dapat
dikatakan Gedung Sate adalah "Gedung Putih"nya kota
Bandung.
Museum Gedung
Sate genap berusia satu tahun pada 8 Desember 2018. Sepanjang setahun, museum
yang menyajikan informasi sejarah Gedung Sate ini menyedot pengunjung
hingga 116.859 orang.
Gambar 3.3. Area Luar Dan Teras Gedung Sate
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Gedung_Sate
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
:
·
Nama asal dari Gedung Sate yaitu Gouvernements
Bedrijven (GB). Gedung yang dijadikan pusat pemerintahan pada masa Hindia
Belanda.
·
Konservasi atau pelestarian Gedung Sate ini dengan
cara dijadikan pusat pemerintahan dari masa Hindia Belanda dan sekarang
dijadikan sebagai pusat pemerintahan Gubernur Jawa Barat. Sebagian juga
dijadikan museum karena banyaknya pengunjung yang datang ke Gedung Sate
khususnya warga Bandung.
·
Sebagai Cagar Budaya yang masih mempertahankan bentuk
aslinya.
·
berbeda dengan museum lain yang identik
dengan debu dan sepi, Museum Gedung Sate dikemas menarik serta apik dengan
sajian teknologi terkini. Hal ini tidak lepas dari tangan dingin Ahmad Heryawan
juga Deddy Mizwar selaku pencetus dibuatnya museum ini.
Saran
:
·
Dengan dijadikannya sebagai perkantoran
Gubernur Jawa Barat. Gedung Sate berharap tetap mempertahankan bentuk aslinya
karena merupakan Cagar Budaya yang harus tetap dilindungi. Dan sebagai iconic
bagi Kota Bandung.
·
Museum Gedung Sate terus dipelihara dan
dilestarikan dengan lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Sadli,
Muhammad, dkk. 2015. Adaptasi Bangunan Baru Terhadap Bangunan Lama Di Kawasan
Konservasi Gedung Sate Bandung, Institut Teknologi Nasional. Mei 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar