Sabtu, 04 Mei 2019

KONSERVASI ARSITEKTUR GEDUNG SATE

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
      Bandung sebagai kota yang direncanakan untuk menjadi Ibu Kota Hindia Belanda (Voskuil,1996) mempunyai sebuah kawasan cikal bakal pusat pemerintahannya, yaitu Gedung Sate.
      Gedung Sate dengan ciri khasnya berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya, telah lama menjadi penanda atau markah tanah Kota Bandung yang tidak saja dikenal masyarakat di Jawa Barat, namun juga seluruh Indonesia bahkan model bangunan itu dijadikan pertanda bagi beberapa bangunan dan tanda-tanda kota di Jawa Barat.
      Gedung Sate memiliki nama Gouverments Bedrijiven (GB) yang digunakan sebagai Pusat Perkantoran Instansi Pemerintahan Sipil Hindia Belanda. Karena sekarang banyak dikunjungi oleh masyarakat bandung sebagai objek wisata.
      Selain Gedung Sate lingkungan sekitarnya pun di tata dengan baik, Gaya arsitektur bangunannya dibuat selaras dengan gaya bangunan Gedung Sate, menggunakan atap bersudut dengan penutup atap sirap. Struktur bangunannya relatif sama, menggunakan dinding pemikul dengan material yang berkualitas baik. Seiring berjalannya waktu perkembangan Kota Bandung tidak dapat dihindarkan, demikian pula pada kawasan Gedung Sate yang merupakan kawasan konservasi. Gedung Sate sebagai cagar budaya yang harus di dilestarikan dan dilindungi.

1.2. Tujuan Konservasi Arsitektur
      Menjelaskan tujuan dari konservasi pada Gedung dijelaskan kedalam dua bagian yaitu untuk mengetahui dan memahami mengenai cara pelestarian Gedung Sate.

1.3. Batasan Masalah
Memberi batasan yang jelas mengenai bagaimana bangunan baru beradapatasi terhadap gaya arsitektur bangunan Gedung Sate sebagai upaya menjaga keharmonisan di kawasan konservasi.

1.4. Rumusan Masalah
      Perumusan masalah pada penulisan laporan konservasi arsitektur adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana cara pelestarian Gedung Sate saat ini ?
2. Apakah ada peralihan fungsi pada Gedung Sate ?


 BAB II
TINJAUAN KONSERVASI ARSITEKTUR

2.1. Tinjauan Lokasi Gedung Sate
      Tinjauan mengenai Lokasi Gedung Sate sebagai konservasi yang berada di Bandung Jawa Barat.
·         Nama bangunan : Gedung Sate
·         Arsitek : Ir.J.Gerber
·         Fungsi : Gedung Pemerintahan Jawa Barat
·         Lokasi : Jl. Diponegoro No.22, Bandung – Jawa Barat
·         Luas lahan : 27.990,859 m²
·         Luas bangunan : 10.877,734 m²
·         Batas wilayah ;
·         Utara : Jl. Diponegoro
·         Barat : Jl. Cimandiri
·         Selatan: Jl. Cimandiri
·         Timur : Jl. Cilaki

Gambar 2.1. Lokasi Gedung Sate.
Sumber : Jurnal Reka Karsa, 2015

     Gedung Sate memiliki bentuk persegi panjang dan juga memiliki denah yang simetris. Dengan kemiringan atap sekitar 450.
Gambar 2.2. Bentuk Gedung Sate
Sumber : Jurnal Reka Karsa, 2015

Gambar 2.3. Denah Gedung Sate
Sumber : Jurnal Reka Karsa, 2015

     Memiliki ritme vertikal dan horizontal yang relatif sama dan memiliki struktur yang kuat. Dengan pola pengulangan bentuk yang sam pada bagian kiri dan kanan baik pada fisik bangunan maupun pada denah bangunan.
Gambar 2.4. Tampak Gedung Sate
Sumber : Jurnal Reka Karsa, 2015

BAB III
PAMBAHASAN

3.1. Definisi Cagar Budaya, Pelestarian Dan Pengembangan
      Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
      Bangunan Cagar Budaya Berdasarkan Perda No. 9 Tahun 1999 Tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Cagar Budaya, bangunan cagar budaya dari segi arsitektur maupun sejarahnya dibagi dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :
·         Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan A
      Bangunan dilarang dibongkar dan atau diubah. Apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya.
      Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama / sejenis atau memiliki karakter yang sama, dengan mempertahankan detail ornamen bangunan yang telah ada. Dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian / perubahan fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama

·         Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan B
      Bangunan dilarang dibongkar secara sengaja, dan apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya. Pemeliharan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah pola tampak depan, atap, dan warna, serta dengan mempertahankan detail dan ornamen bangunan yang penting.
      Dalam upaya rehabilitasi dan revitalisasi dimungkinkan adanya perubahan tata ruang dalam asalkan tidak mengubah struktur utama bangunan
Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama

·         Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan C
      Perubahan bangunan dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan pola tampak muka, arsitektur utama dan bentuk atap bangunan. Detail ornamen dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan disekitarnya dalam keserasian lingkungan. Penambahan Bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya dapat dilakukan di belakang bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan arsitektur bangunan cagar budaya dalam keserasian lingkungan
Fungsi bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana Kota

      Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya.
      Penyelamatan adalah upaya menghindarkan dan/atau menanggulangi Cagar Budaya dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan. Pemeliharaan adalah upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik Cagar Budaya tetap lestari. Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya.
      Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian. Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.
           
3.2. Konservasi Arsitektur Gedung Sate Bandung
Gambar 3.1. Konservasi Gedung Sate
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Gedung_Sate

      Konservasi adalah pelestarian atau perlindungan Bangunan cagar budaya dari segi arsitektur maupun sejarahnya dibagi dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :
·         cagar budaya golongan A,
·         cagar budaya golongan B,dan
·         cagar budaya golongan C.
Kriteria dan tolak ukur bangunan pemugaran :
·         Nilai sejarah
·         Usia / Umur Lingkungan
·         Keaslian
·         Kelangkaan
·         Tengeran / Landmark
·         Arsitektur
      Menurut Wikipedia, konservasi adalah pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah, konservasi berasal dari bahasa Inggris, Conservation yang artinya pelestarian atau perlindungan.
      Pengertian Konservasi Arsitektur adalah penyelamatan suatu obyek/bangunan sebagai bentuk apreasiasi pada perjalanan sejarah suatu bangsa, pendidikan dan pembangunan wawasan intelektual bangsa antar generasi.
      Theodore Roosevelt (1902) merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi yang berasal dari kata conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian tentang upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use).
      Pada awalnya konsep konservasi terbatas pada pelestarian benda – benda/monumen bersejarah (biasa disebut preservasi). Namun konsep konservasi tersebut berkembang, sasarannya tidak hanya mencakup monumen, bangunan atau benda bersejarah melainkan pada lingkungan perkotaan yang memiliki nilai sejarah serta kelangkaan yang menjadi dasar bagi suatu tindakan konservasi.
      Menurut Sidharta dan Budihardjo (1989), konservasi merupakan suatu upaya untuk melestarikan bangunan atau lingkungan, mengatur penggunaan serta arah perkembangannya sesuai dengan kebutuhan saat ini dan masa mendatang sedemikian rupa sehingga makna kulturalnya akan dapat tetap terpelihara.
      Menurut Danisworo (1991), konservasi merupakan upaya memelihara suatu tempat berupa lahan, kawasan, gedung maupun kelompok gedung termasuk lingkungannya. Di samping itu, tempat yang dikonservasi akan menampilkan makna dari sisi sejarah, budaya, tradisi, keindahan, sosial, ekonomi, fungsional, iklim maupun fisik (Danisworo, 1992). Dari aspek proses disain perkotaan (Shirvani, 1985), konservasi harus memproteksi keberadaan lingkungan dan ruang kota yang merupakan tempat bangunan atau kawasan bersejarah dan juga aktivitasnya.
      Dalam Burra Charter konsep konservasi adalah semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan yang telah dirumuskan dalam piagam tersebut. Konservasi adalah konsep proses pengelolaan suatu tempat atau ruang atau obyek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan baik. Pengertian ini sebenarnya perlu diperluas lebih spesifik yaitu pemeliharaan morfologi (bentuk fisik) dan fungsinya. Kegiatan konservasi meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan kondisi dan situasi lokal maupun upaya pengembangan untuk pemanfaatan lebih lanjut. Bila dikaitkan dengan kawasan maka konservasi kawasan atau sub bagian kota mencakup suatu upaya pencegahan adanya aktivitas perubahan sosial atau pemanfaatan yang tidak sesuai dan bukan secara fisik saja.
      Konservasi dengan demikian sebenarnya merupakan pula upaya preservasi namun dengan tetap memanfaatkan kegunaan dari suatu tempat untuk menampung/memberi wadah bagi kegiatan yang sama seperti kegiatan asalnya atau bagi kegiatan yang sama sekali baru sehingga dapat membiayai sendiri kelangsungan eksistensinya. Dengan kata lain konservasi suatu tempat merupakan suatu proses daur ulang dari sumber daya tempat tersebut.
Sasaran Konservasi
      Mengembalikan wajah dari obyek pelestarian. Memanfaatkan obyek pelestarian untuk menunjang kehidupan masa kini. Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu, tercermin dalam obyek pelestarian. Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan kota, dalam wujud fisik tiga dimensi lingkup kegiatan

Skala/Lingkup Konservasi
·         Lingkungan Alami (Natural Area)
·         Kota dan Desa (Town and Village)
·         Garis Cakrawala dan Koridor pandang (Skylines and View Corridor)
·         Kawasan (Districts)
·         Wajah Jalan (Street-scapes)
·         Bangunan (Buildings)
·         Benda dan Penggalan (Object and Fragments)

Manfaat Konservasi
·         Memperkaya pengalaman visual
·         Memberi suasana permanen yang menyegarkan
·         Memberi kenyamanan psikologis
·         Mewariskan arsitektur
·         Asset komersial dalam kegiatan wisata internasional
Gambar 3.2. Gedung Sate
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Gedung_Sate

      Gedung Sate dengan ciri khasnya berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya, telah lama menjadi penanda atau markah tanah Kota Bandung yang tidak saja dikenal masyarakat di Jawa Barat, namun juga seluruh Indonesia bahkan model bangunan itu dijadikan pertanda bagi beberapa bangunan dan tanda-tanda kota di Jawa Barat. Misalnya bentuk gedung bagian depan Stasiun Kereta Api Tasikmalaya. Mulai dibangun tahun 1920, gedung berwarna putih ini masih berdiri kokoh namun anggun dan kini berfungsi sebagai gedung pusat pemerintahan Jawa Barat.
Gambar 3.3. Tampak Gedung Sate Dari Jalan
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Gedung_Sate

      Gedung Sate yang pada masa Hindia Belanda itu disebut Gouvernements Bedrijven (GB), peletakan batu pertama dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, puteri sulung Wali kota BandungB. Coops dan Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur Jenderal di BataviaJ.P. Graaf van Limburg Stirum pada tanggal 27 Juli 1920, merupakan hasil perencanaan sebuah tim yang terdiri dari Ir.J.Gerber, arsitek muda kenamaan lulusan Fakultas Teknik Delft Nederland, Ir. Eh. De Roo dan Ir. G. Hendriks serta pihak Gemeente van Bandoeng, diketuai Kol. Pur. VL. Slors dengan melibatkan 2000 pekerja, 150 orang di antaranya pemahat, atau ahli bongpay pengukir batu nisan dan pengukir kayu berkebangsaan Cina yang berasal dari Konghu atau Kanton, dibantu tukang batu, kuli aduk dan peladen yang berasal dari penduduk Kampung SekeloaKampung Coblong DagoKampung Gandok dan Kampung Cibarengkok, yang sebelumnya mereka menggarap Gedong Sirap (Kampus ITB) dan Gedong Papak (Balai Kota Bandung).
Gedung Sate (ca.1920-28)
      Selama kurun waktu 4 tahun pada bulan September 1924 berhasil diselesaikan pembangunan induk bangunan utama Gouverments Bedrijven, termasuk kantor pusat PTT (PosTelepon dan Telegraf) dan Perpustakaan.
      Arsitektur Gedung Sate merupakan hasil karya arsitek Ir. J.Gerber dan kelompoknya yang tidak terlepas dari masukan maestro arsitek Belanda Dr.Hendrik Petrus Berlage, yang bernuansakan wajah arsitektur tradisional Nusantara.
      Banyak kalangan arsitek dan ahli bangunan menyatakan Gedung Sate adalah bangunan monumental yang anggun mempesona dengan gaya arsitektur unik mengarah kepada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa, (Indo Europeeschen architectuur stijl), sehingga tidak mustahil bila keanggunan Candi Borobudur ikut mewarnai Gedung Sate.
      Beberapa pendapat tentang megahnya Gedung Sate di antaranya Cor Pashier dan Jan Wittenberg dua arsitek Belanda, yang mengatakan "langgam arsitektur Gedung Sate adalah gaya hasil eksperimen sang arsitek yang mengarah pada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa". D. Ruhl dalam bukunya Bandoeng en haar Hoogvlakte 1952, "Gedung Sate adalah bangunan terindah di Indonesia".
      Ir. H.P.Berlage, sewaktu kunjungan ke Gedung Sate April 1923, menyatakan, "Gedung Sate adalah suatu karya arsitektur besar, yang berhasil memadukan langgam timur dan barat secara harmonis". Seperti halnya gaya arsitektur Italia pada masa renaiscance terutama pada bangunan sayap barat. Sedangkan menara bertingkat di tengah bangunan mirip atap meru atau pagoda. Masih banyak lagi pendapat arsitek Indonesia yang menyatakan kemegahan Gedung Sate misalnya Slamet Wirasonjaya, dan Ir. Harnyoto Kunto.
      Kuat dan utuhnya Gedung Sate hingga kini, tidak terlepas dari bahan dan teknis konstruksi yang dipakai. Dinding Gedung Sate terbuat dari kepingan batu ukuran besar (1 × 1 × 2 m) yang diambil dari kawasan perbukitan batu di Bandung timur sekitar Arcamanik dan Gunung Manglayang. Konstruksi bangunan Gedung Sate menggunakan cara konvensional yang profesional dengan memperhatikan standar teknik.
      Gedung Sate berdiri di atas lahan seluas 27.990,859 m², luas bangunan 10.877,734 m² terdiri dari Basement 3.039,264 m², Lantai I 4.062,553 m², teras lantai I 212,976 m², Lantai II 3.023,796 m², teras lantai II 212.976 m², menara 121 m² dan teras menara 205,169 m².
      Gerber sendiri memadukan beberapa aliran arsitektur ke dalam rancangannya. Untuk jendela, Gerber mengambil tema Moor Spanyol, sedangkan untuk bangunannya dalah Rennaisance Italia. Khusus untuk menara, Gerber memasukkan aliran Asia, yaitu gaya atap pura Bali atau pagoda di Thailand. Di puncaknya terdapat "tusuk sate" dengan 6 buah ornamen sate (versi lain menyebutkan jambu air atau melati), yang melambangkan 6 juta gulden - jumlah biaya yang digunakan untuk membangun Gedung Sate. Ornamen yang terbuat dari batu, terletak di atas pintu utama Gedung Sate, sering dikaitkan dengan candi Borobudur karena bentuknya yang serupa.
      Fasade (tampak depan) Gedung Sate ternyata sangat diperhitungkan. Dengan mengikuti sumbu poros utara-selatan (yang juga diterapkan di Gedung Pakuan, yang menghadap Gunung Malabar di selatan), Gedung Sate justru sengaja dibangun menghadap Gunung Tangkuban Perahu di sebelah utara.
      Dalam perjalanannya semula diperuntukkan bagi Departemen Lalulintas dan Pekerjaan Umum, bahkan menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda setelah Batavia dianggap sudah tidak memenuhi syarat sebagai pusat pemerintahan karena perkembangannya, sehingga digunakan oleh Jawatan Pekerjaan Umum. Tanggal 3 Desember 1945 terjadi peristiwa yang memakan korban tujuh orang pemuda yang mempertahankan Gedung Sate dari serangan pasukan Gurkha. Untuk mengenang ke tujuh pemuda itu, dibuatkan tugu dari batu yang diletakkan di belakang halaman Gedung Sate. Atas perintah Menteri Pekerjaan Umum pada tanggal 3 Desember 1970 Tugu tersebut dipindahkan ke halaman depan Gedung Sate.
      Gedung Sate sejak tahun 1980 dikenal dengan sebutan Kantor Gubernur karena sebagai pusat kegiatan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang sebelumnya Pemerintahaan Provinsi Jawa Barat menempati Gedung Kerta Mukti di Jalan Braga Bandung.
      Ruang kerja Gubernur terdapat di lantai II bersama dengan ruang kerja Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah, Para Assisten dan Biro. Saat ini Gubernur di bantu oleh tiga Wakil Gubernur yang menangani Bidang Pemerintahan, Bidang Ekonomi dan Pembangunan, serta Bidang Kesejahteraan Rakyat, seorang Sekretaris Daerah dan Empat Asisten yaitu Asisten Ketataprajaan, Asisten Administrasi Pembangunan, Asisten Kesejahteraan Sosial dan Asisten Administrasi.
      Namun tidak seluruh Asisten menempati Gedung Sate. Asisten Kesejahteraan Sosial dan Asisten Administrasi bersama staf menempati Gedung Baru.
      Di bagian timur dan barat terdapat dua ruang besar yang akan mengingatkan pada ruang dansa (ball room) yang sering terdapat pada bangunan masyarakat Eropa. Ruangan ini lebih sering dikenal dengan sebutan aula barat dan aula timur, sering digunakan kegiatan resmi. Di sekeliling kedua aula ini terdapat ruangan-ruangan yang di tempati beberapa Biro dengan Stafnya.
      Paling atas terdapat lantai yang disebut Menara Gedung Sate, lantai ini tidak dapat dilihat dari bawah, untuk menuju ke lantai teratas menggunakan Lift atau dengan menaiki tangga kayu.
      Kesempurnaan megahnya Gedung Sate dilengkapi dengan Gedung Baru yang mengambil sedikit gaya arsitektur Gedung Sate namun dengan gaya konstektual hasil karya arsitek Ir.Sudibyo yang dibangun tahun 1977 diperuntukkan bagi para Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Lembaga Legislatif Daerah.
      Gedung Sate telah menjadi salah satu tujuan objek wisata di kota Bandung. Khusus wisatawan manca negara banyak dari mereka yang sengaja berkunjung karena memiliki keterkaitan emosi maupun history pada Gedung ini. Keterkaitan emosi dan history ini mungkin akan terasa lebih lengkap bila menaiki anak tangga satu per satu yang tersedia menuju menara Gedung Sate. Ada 6 tangga yang harus dilalui dengan masing-masing 10 anak tangga yang harus dinaiki.
      Keindahan Gedung Sate dilengkapi dengan taman disekelilingnya yang terpelihara dengan baik, tidak heran bila taman ini diminati oleh masyarakat kota Bandung dan para wisatawan baik domestik maupun manca negara. Keindahan taman ini sering dijadikan lokasi kegiatan yang bernuansakan kekeluargaan, lokasi shooting video klip musik baik artis lokal maupun artis nasional, lokasi foto keluarga atau foto diri bahkan foto pasangan pengantin.
Khusus pada hari minggu lingkungan halaman Gedung Sate dijadikan pilihan tempat sebagian besar masyarakat untuk bersantai, sekadar duduk-duduk menikmati udara segar kota Bandung atau berolahraga ringan.
      Membandingkan Gedung Sate dengan bangunan-bangunan pusat pemerintahan (capitol building) di banyak ibukota negara sepertinya tidak berlebihan. Persamaannya semua dibangun di tengah kompleks hijau dengan menara sentral yang megah. Terlebih dari segi letak gedung sate serta lanskapnya yang relatif mirip dengan Gedung Putih di Washington, DCAmerika Serikat. Dapat dikatakan Gedung Sate adalah "Gedung Putih"nya kota Bandung.
      Museum Gedung Sate genap berusia satu tahun pada 8 Desember 2018. Sepanjang setahun, museum yang menyajikan informasi sejarah Gedung Sate ini menyedot pengunjung hingga 116.859 orang.
Gambar 3.3. Area Luar Dan Teras Gedung Sate
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Gedung_Sate

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan :
·         Nama asal dari Gedung Sate yaitu Gouvernements Bedrijven (GB). Gedung yang dijadikan pusat pemerintahan pada masa Hindia Belanda.
·         Konservasi atau pelestarian Gedung Sate ini dengan cara dijadikan pusat pemerintahan dari masa Hindia Belanda dan sekarang dijadikan sebagai pusat pemerintahan Gubernur Jawa Barat. Sebagian juga dijadikan museum karena banyaknya pengunjung yang datang ke Gedung Sate khususnya warga Bandung.
·         Sebagai Cagar Budaya yang masih mempertahankan bentuk aslinya.
·         berbeda dengan museum lain yang identik dengan debu dan sepi, Museum Gedung Sate dikemas menarik serta apik dengan sajian teknologi terkini. Hal ini tidak lepas dari tangan dingin Ahmad Heryawan juga Deddy Mizwar selaku pencetus dibuatnya museum ini.

Saran :
·         Dengan dijadikannya sebagai perkantoran Gubernur Jawa Barat. Gedung Sate berharap tetap mempertahankan bentuk aslinya karena merupakan Cagar Budaya yang harus tetap dilindungi. Dan sebagai iconic bagi Kota Bandung.
·         Museum Gedung Sate terus dipelihara dan dilestarikan dengan lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Sadli, Muhammad, dkk. 2015. Adaptasi Bangunan Baru Terhadap Bangunan Lama Di Kawasan Konservasi Gedung Sate Bandung, Institut Teknologi Nasional. Mei 2019
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar